Pages

Novel - BAB 2 (cuplikan)

« SEBELUMNYA

Kemana langit biru? Kenapa langit berubah menjadi jingga? Astaga, ini sudah maghrib, dan kumandang adzan juga sudah terdengar saling bersahutan. Suasana mulai hening, sepi, dan tentu saja gelap. Aku takut, aku ingin pulang. Tapi, aku mau pulang lewat jalan mana? Maju, atau balik arah? Dan pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dipikiranku, konflik batin yang kurasakan sungguh membuatku pusing. Kalau aku balik arah, maka aku akan bertemu dengan leak –makhluk yang berkeliaran hanya dengan kepala dan isi tubuhnya saja–, sementara jika aku maju maka aku akan pulang lewat sawah yang di sana pasti tak ada setitik cahaya pun dan di sana juga ada kuburan. Fyuh......... tanpa berpikir terlalu lama, aku memilih untuk maju karena jika balik arah untuk kembali ke rumah, itu terlalu jauh.


Angin sepoi meniup tengkukku. Kucoba untuk tenang. Susah!. Kucoba lagi. Tetap saja, susah!. Ah, aku menarik napas dan menghembuskannya melalui mulut. Aku terbayang-bayang, kata orang: anak-anak ngga boleh keluar maghrib, banyak hantu berkeliaran dan ada wewe gombel yang akan menculik anak kecil. Kenapa sih kata-kata itu tiba-tiba muncul dikeadaan seperti ini? Dan ternyata mitos yang sudah beredar luas memang benar adanya karena aku ditakuti suara kikian tawa seseorang yang tertangkap oleh daun telingaku, sangat jelas, dekat, dan mengerikan. Langsung saja aku mengambil ancang-ancang seraya menoleh kiri-kanan kemudian segera lari secepat kilat. Rasa takutku semakin menjadi-jadi ketika kikian yang kudengar tak lagi satu namun sangat banyak. Suara itu berasal dari segala arah. Sial!. Perempuan berpakaian putih dekil berdiri menatap mataku nanar, wajahnya yang hancur membuatku mual dan ingin muntah, tapi aku terus berlari hingga ujung jalan sudah mulai terlihat. Sykurlah. Tawa mengerikan itu sudah tak terdengar lagi, perempuan dengan wajah rusak juga sudah pergi, sekarang tinggal satu rintangan yang harus kuhadapi. Melewati kuburan. Berhasil tanpa harus bertemu dengan makhluk jelek yang alamnya beda dengan kita. Huh.. Selamat datang kembali di komplek perumahan.


Setelah sukses melewati berbagai macam gangguan astral, aku menuju rumah. Langkahku terhenti, lagi-lagi amarah itu masih berkuasa membuat aku pun enggan untuk pulang. Aku bersembunyi di balik pohon nangka sembari mengawasi keadaan sekitar rumah. Buset, makhluk apa yang duduk di atas ranting pohon jambu monyet yang tertanam di depan rumah? Rambutnya sungguh acak-acakan, barangkali seumur hidupnya tidak pernah keramas. Eh, dia malah menyeringai licik ke arahku. Baju rombeng dengan bercak darah terpasang di tubuhnya, sangat menjijikan. Jangan sampai dia menyentuhku!.


Daripada aku harus melihatnya lebih lama dan dia melakukan sesuatu kepadaku, lebih baik aku segera pergi. Dengan sisa tenaga yang kumiliki kakiku mulai melangkah perlahan. Sekarang aku tak tahu harus ke mana lagi.


Rasanya ini sudah larut malam, soalnya suasana sangat sunyi. Angin malam pun terasa begitu dingin menyilukan. Aku hanya dapat menggosok-gosok kulitku agar sedikit hangat. Huh, beginilah kondisi malam. Cahaya purnama pucat nyaris tak terlihat berusaha menembus sela-sela dedaunan. Sementara jangkrik dan kodok sepertinya sedang asyik bersenandung bersahutan. Aku mengambil keputusan akan berdiam diri di sekolah. Ternyata di jalan menuju sekolah nampak tiga ekor anjing hitam sedang beristirahat. Masa aku tidak jadi ke sekolah? Padahal sekolah sudah ada di depan mata. Yaudah, dengan percaya diri dan tenang tanpa mengganggu anjing-anjing itu aku berjalan. Namun kesialan menimpaku, salah satu anjing bangun dan langsung saja mengejarku. Mengetahui ada ancaman, aku segera berlari sekencang mungkin, adrenalin terpacu. Aku masih selamat ketika aku berhasil memasuki gerbang sekolah.


“Mau ke mana?” tanya penjaga sekolah.

Sudah tau aku mau masuk, malah nanya lagi. “Masuk,” jawabku singkat.

“Jangan,”

“Lah, kenapa?”

“Bahaya saja, banyak hantu. Nanti kamu disembunyiin.” jelasnya.

Nyaliku seketika ciut.

“Kamu pulang saja” perintahnya


Aku diam mematung, kecuali bola mataku yang terus melirik segala arah. Banyak sekali makhluk-makhluk yang hobinya mengganggu hidupku. Aku menelan ludah saat anak kecil mendekatiku. Tanpa berkata-kata apalagi harus pamitan, aku langsung kabur dan benar-benar pulang.



Meski masih dibaluti amarah, namun kali ini aku cukup berhasil meredamnya. Kulihat jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Untuk itu, aku pun ke kamar tanpa berbicara sepatah kata terlebih dahulu dan tertidur pulas.

Firdi Ramadhan

2 komentar: