Pages

Novel - Bab 3 (cuplikan)

.....
Sudah setengah tahun kami di rumah itu, tapi aku belum menceritakan kejadian demi kejadian yang aku alami.

“Kemarin bapak lihat papuq-papuq (nenek-nenek) di dapur,” ibu mulai membuka topik.

“Seriusan?,”

“Iya, malam kamis itu.”

“Kenapa ibu baru cerita?” aku melontarkan sebuah pertanyaan.

“Biar kamu ngga takut,”

“Gimana sih ceritanya?” tanyaku sedikit lirih.

Ibu mengambil napas. “Jadi gini, kan waktu malam Kamis itu Bapak ke kamar mandi mau kencing. Sudah selesai kencing dan noleh ke belakang, ternyata..” Aku antusias sekali mendengar cerita ibu.
Ibu terdiam, ragu-ragu untuk melanjutkan.

“Terus?”

“ternyata di sana sudah ada itu sedang duduk,”

“Lah, apa benar kuntilanak itu ada?”

Ibu mengerutkan dahi dan mengangkat pundaknya. “Mungkin,”

Sebenarnya aku tahu jawaban yang sesungguhnya: Kuntilanak itu ada. Benar-benar ada. Karena aku sudah melihatnya beberapa kali.

“Terus terang saja, ibu juga agak takut kasih tau ini ke kamu,”

Aku menatap ibu heran.

“Makanya kamu jangan nakal.”

Aku mengangguk.

“Noh dengerin tuh!” sahut kakakku

“Iya,” jawabku pendek. Lalu menoleh ke arah kamarku dan menyaksikan ada aktivitas lain yang terjadi di sana.

“Kenapa?” tanya ibu seraya ikut melihat ke arah yang sama denganku.

Aku tidak menjawab. Pikiranku terasa kosong, seakan diriku tidak berada di sini. Kakak menyentuh pundakku. Aku terlonjak kaget.

“Woy, ditanya kok malah diem. Kamu kenapa?”

“Apa?,” Aku kelabakan.

“Tadi ibu nanya tuh, kamu kenapa kok bengong?”

“Oh, ngga ada.”

“Dasar.” ucap kakak dengan wajah kecut.

“Hmmm, yaudah aku mau pergi main-main dulu.”

Aku memandang teman-temanku yang begitu gembira. Sempat terpikir di benakku, kenapa aku bisa bertemu dengan makhluk-makhluk yang sebagian besar sangat senang mengganggu kehidupanku.

“Hey, melamun saja kerjaanmu,” sapa salah satu temanku. “Ada masalah apa?”

Sial, aku gugup, tidak tahu harus memberi penjelasan apa. Lagipula, jika aku jelaskan pasti dia tidak percaya dan mengira aku berbohong. Sebelum aku sempat mengarang-ngarang cerita, sebuah suara pun memanggil namaku. Aku menengok ke arah suara itu. Ternyata temanku yang lain datang.

“Ada apa?”

“Ikut main yuk!” ajaknya

“Ngga ah,”

“Lho, kamu ngga apa-apa ‘kan?” lirihnya sambil mengacak rambutku.

Aku memejamkan mata dengan erat. Betapa bibir ini malas untuk berbicara. Betapa ingin rasanya segera pergi dari tempat ini, meninggalkan mereka dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan yang mendesakku. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal bahwa hati kecilku justru lebih ingin aku menceritakan semuanya.

“Gini, ya..”

Sejenak, aku menemukan semua keberanian yang sempat hilang. Aku menceritakan bahwa aku punya bakat melihat makhluk yang mereka tidak bisa lihat.

“Mungkin, itu hanya halusinasi kamu saja,”

“Ngga!” tukasku dengan nada tinggi.

“Lalu apa itu benar. Dan biarkan saja, mereka kan hanya menampakan dirinya saja?”

“Kamu tuh ngga tau rasanya! Aku sudah coba tenang, tapi mereka selalu saja mengusik kehidupanku, mengganggu aktivitasku, bosan mendengar suaranya yang seolah menertawaiku.”

Sentakan itu membuat kedua temanku membisu.

“Aku ingin bebas dari semua ini, tapi aku ngga tau caranya!” lirihku dengan pilu.

“Mungkin....”

“Apa saja akan aku lakukan supaya aku bisa bebas dari kutukan ini,” aku memotong pembicaraan temanku itu.

“Iya, mungkin saja untuk saat ini kamu bersikeras ingin keluar dari masalah ini. Aku juga pernah melihat di TV bahwa banyak anak-anak yang mempunyai bakat seperti kamu. Awalnya mereka memang terganggu, tapi lambat laun mereka jadi terbiasa.”

“Setiap orang berbeda,” sekali lagi aku menukas dengan tegas.

“Aku tahu, tapi setidaknya kita lihat bagaimana ke depannya.”

“Terserah kamu saja,”

“Jangan terserah aku dong. Kalau kamu yakin, itu semua akan berubah kok,”

“Yah, baiklah.” Kini senyum yang sedari tadi ditutupi oleh kemarahan mulai terlihat dari wajahku. “Terimakasih telah memberiku saran. Aku kira kalian bakalan ngga mempedulikan semua kata-kataku ini.”

“Itulah gunanya teman.”

Akhirnya aku sudah sedikit tenang, sudah lumayan lega rasanya. Berhubung hari sudah sore dan aku belum mandi, aku pun kembali ke rumah dengan wajah yang sumringah.

Setelah selesai dengan urusanku. Aku menonton film kartun hingga tak terasa malam telah datang menggantikan hari yang lelah. Malam ini, kami kedatangan tamu, teman Ayah tiriku, sebut saja namanya Mbah Renggo. Rupanya ibu tahu apa pembicaraan mereka, maka dari itu dia juga memberitahuku dan kakakku.

“Itu mereka sedang omongin yang di dapur itu,”

Kami duduk merapat. Begitu serius mendengarkan.

“Katanya sih di sini ada tiga,” ibu melirik-lirik. “satu di kamar ibu, satu di kamar kamu, dan satunya lagi di dapur.”

“Astaga, dia cewek atau cowok yang di kamar tuh,”

“Kalau di kamar ibu cewek, terus kalau di kamar kamu cowok,”

Barangkali yang sering mondar-mandir itu si hantu cewek yang ada di kamar ibu.

“Sekarang mereka sedang duduk sama Bapak dan Mbah Renggo,” lanjut Ibu.


“Masa, Bu?” aku dan kakakku langsung menengok lewat jendela. Ah, tapi kenapa kali ini aku malah tidak bisa melihatnya. Sementara Mbah Renggo terus saja berbicara, bukan dengan Ayah tiriku melainkan dengan tiga serangkai penghuni rumah ini.

...

Firdi Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar