.....
Sudah
setengah tahun kami di rumah itu, tapi aku belum menceritakan kejadian demi
kejadian yang aku alami.
“Kemarin
bapak lihat papuq-papuq (nenek-nenek)
di dapur,” ibu mulai membuka topik.
“Seriusan?,”
“Iya,
malam kamis itu.”
“Kenapa
ibu baru cerita?” aku melontarkan sebuah pertanyaan.
“Biar
kamu ngga takut,”
“Gimana
sih ceritanya?” tanyaku sedikit lirih.
Ibu
mengambil napas. “Jadi gini, kan waktu malam Kamis itu Bapak ke kamar mandi mau
kencing. Sudah selesai kencing dan noleh ke belakang, ternyata..” Aku antusias
sekali mendengar cerita ibu.
Ibu
terdiam, ragu-ragu untuk melanjutkan.
“Terus?”
“ternyata
di sana sudah ada itu sedang duduk,”
“Lah,
apa benar kuntilanak itu ada?”
Ibu
mengerutkan dahi dan mengangkat pundaknya. “Mungkin,”
Sebenarnya
aku tahu jawaban yang sesungguhnya: Kuntilanak
itu ada. Benar-benar ada. Karena aku sudah melihatnya beberapa kali.
“Terus
terang saja, ibu juga agak takut kasih tau ini ke kamu,”
Aku
menatap ibu heran.
“Makanya
kamu jangan nakal.”
Aku
mengangguk.
“Noh
dengerin tuh!” sahut kakakku
“Iya,”
jawabku pendek. Lalu menoleh ke arah kamarku dan menyaksikan ada aktivitas lain
yang terjadi di sana.
“Kenapa?”
tanya ibu seraya ikut melihat ke arah yang sama denganku.
Aku
tidak menjawab. Pikiranku terasa kosong, seakan diriku tidak berada di sini.
Kakak menyentuh pundakku. Aku terlonjak kaget.
“Woy,
ditanya kok malah diem. Kamu kenapa?”
“Apa?,”
Aku kelabakan.
“Tadi
ibu nanya tuh, kamu kenapa kok bengong?”
“Oh,
ngga ada.”
“Dasar.”
ucap kakak dengan wajah kecut.
“Hmmm,
yaudah aku mau pergi main-main dulu.”
Aku
memandang teman-temanku yang begitu gembira. Sempat terpikir di benakku, kenapa
aku bisa bertemu dengan makhluk-makhluk yang sebagian besar sangat senang
mengganggu kehidupanku.
“Hey,
melamun saja kerjaanmu,” sapa salah satu temanku. “Ada masalah apa?”
Sial,
aku gugup, tidak tahu harus memberi penjelasan apa. Lagipula, jika aku jelaskan
pasti dia tidak percaya dan mengira aku berbohong. Sebelum aku sempat
mengarang-ngarang cerita, sebuah suara pun memanggil namaku. Aku menengok ke arah
suara itu. Ternyata temanku yang lain datang.
“Ada
apa?”
“Ikut
main yuk!” ajaknya
“Ngga
ah,”
“Lho,
kamu ngga apa-apa ‘kan?” lirihnya sambil mengacak rambutku.
Aku
memejamkan mata dengan erat. Betapa bibir ini malas untuk berbicara. Betapa
ingin rasanya segera pergi dari tempat ini, meninggalkan mereka dan tentu saja
pertanyaan-pertanyaan yang mendesakku. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal
bahwa hati kecilku justru lebih ingin aku menceritakan semuanya.
“Gini,
ya..”
Sejenak,
aku menemukan semua keberanian yang sempat hilang. Aku menceritakan bahwa aku
punya bakat melihat makhluk yang mereka tidak bisa lihat.
“Mungkin,
itu hanya halusinasi kamu saja,”
“Ngga!”
tukasku dengan nada tinggi.
“Lalu
apa itu benar. Dan biarkan saja, mereka kan hanya menampakan dirinya saja?”
“Kamu
tuh ngga tau rasanya! Aku sudah coba tenang, tapi mereka selalu saja mengusik
kehidupanku, mengganggu aktivitasku, bosan mendengar suaranya yang seolah
menertawaiku.”
Sentakan
itu membuat kedua temanku membisu.
“Aku
ingin bebas dari semua ini, tapi aku ngga tau caranya!” lirihku dengan pilu.
“Mungkin....”
“Apa
saja akan aku lakukan supaya aku bisa bebas dari kutukan ini,” aku memotong
pembicaraan temanku itu.
“Iya,
mungkin saja untuk saat ini kamu bersikeras ingin keluar dari masalah ini. Aku
juga pernah melihat di TV bahwa banyak anak-anak yang mempunyai bakat seperti
kamu. Awalnya mereka memang terganggu, tapi lambat laun mereka jadi terbiasa.”
“Setiap
orang berbeda,” sekali lagi aku menukas dengan tegas.
“Aku
tahu, tapi setidaknya kita lihat bagaimana ke depannya.”
“Terserah
kamu saja,”
“Jangan
terserah aku dong. Kalau kamu yakin, itu semua akan berubah kok,”
“Yah,
baiklah.” Kini senyum yang sedari tadi ditutupi oleh kemarahan mulai terlihat
dari wajahku. “Terimakasih telah memberiku saran. Aku kira kalian bakalan ngga
mempedulikan semua kata-kataku ini.”
“Itulah
gunanya teman.”
Akhirnya
aku sudah sedikit tenang, sudah lumayan lega rasanya. Berhubung hari sudah sore
dan aku belum mandi, aku pun kembali ke rumah dengan wajah yang sumringah.
Setelah
selesai dengan urusanku. Aku menonton film kartun hingga tak terasa malam telah
datang menggantikan hari yang lelah. Malam ini, kami kedatangan tamu, teman
Ayah tiriku, sebut saja namanya Mbah Renggo. Rupanya ibu tahu apa pembicaraan
mereka, maka dari itu dia juga memberitahuku dan kakakku.
“Itu
mereka sedang omongin yang di dapur itu,”
Kami
duduk merapat. Begitu serius mendengarkan.
“Katanya
sih di sini ada tiga,” ibu melirik-lirik. “satu di kamar ibu, satu di kamar
kamu, dan satunya lagi di dapur.”
“Astaga,
dia cewek atau cowok yang di kamar tuh,”
“Kalau
di kamar ibu cewek, terus kalau di kamar kamu cowok,”
Barangkali
yang sering mondar-mandir itu si hantu cewek yang ada di kamar ibu.
“Sekarang
mereka sedang duduk sama Bapak dan Mbah Renggo,” lanjut Ibu.
“Masa,
Bu?” aku dan kakakku langsung menengok lewat jendela. Ah, tapi kenapa kali ini
aku malah tidak bisa melihatnya. Sementara Mbah Renggo terus saja berbicara,
bukan dengan Ayah tiriku melainkan dengan tiga serangkai penghuni rumah ini.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar