Pages

Kuntilanak -Bab 3-


JANGAN LIHAT POHON ITU!

Ini adalah kelanjutan dari Novel Adaptasi “Kuntilanak”. Untuk para readers  yang belum membaca 

cerita sebelumnya, klik disini!. Dan yang belum membaca dari awal, klik di sini!

(gue cut yah.. J *ceritanya sedikit ngga penting* dan supaya..... J)


“Eh, Tante!” sapa anak itu ceria. “Tadi ada yang nyariin Tante.”

Sam bingung. “Nyariin saya? Siapa?”

Anak itu menyeringai semakin lebar. Matanya seolah menyala. “Saya ngga boleh nyebut namanya.”. Lantas, ia pergi meninggalkan Sam.

Bla-bla-bla-bla

Buku yang diberikan oleh Iwank kepada Agung “Mimpi: Pintu ke Alam Supernatural”.

Menurut buku ini, kalau sebuah mimpi muncul berulang-ulang kali  dan selalu sama, maka asalnya bukan dari alam bawah sadar lagi, tapi,” Agung membentuk dua tanda kutip dengan tangannya, “alam lain.”

Bla-bla-bla-bla

 “Kebakaran rumah sering berarti putusnya hubungan dengan keluarga. Masuk akal. Kamu ‘kan mulai mendapat mimpi-mimpi itu sejak .....”

Bla-bla-bla-bla

Bulan menyinari jalan menuju rumah kost. Agung merinding melewati pemakaman itu, dan memandangi pohon tua di tengahnya dengan rasa bergidik. Sam mendesis tegas, “Jangan diliatin!”

Agung bingung “Kenapa emang?”

“Pokoknya jangan!” larang Sam dengan tegas. Namun Sam sendiri bingung kenapa ia bersikap seperti itu. Padahal tadi pagi, ia merasa peringatan Bang Udin untuk “permisi-permisi” ke pohon itu adalah sesuatu hal yang konyol. Nampaknya, Sam terpengaruh suasana malam yang sunyi senyap itu.

Sam tiba di depan rumah kost, dan menahan agar Agung tidak mengantar hingga ke dalam. “Ngga enak sama anak-anak yang lain,” demikian alasan Sam. Agung memaklumi. Ia pun mengecup pipi Sam. “Aku pulang dulu, Say.” Seperti biasa kecupan itu tidak dibalas.

“Gung,” panggil Sam, menahan langkah Agung sejenak. Agung menoleh, berharap Sam mengatakan sesuatu mengarah ke pemulihan hubungan mereka berdua. “Inget ya. Jangan diliatin pohonnya!”

Agung kecewa, dan sedikit sebal menanggapi sikap Sam yang aneh itu. “Iya, iya, ah!”

Agung melangkah pergi dengan umpatan-umpatan kecil di dalam hatinya. Sejak kapan Sam jadi lebih memerhatikan pohon tua bangka ketimbang perang dingin di antara mereka? Apa Sam pikir Agung takut dengan pohon konyol di tengah kuburan? Apa Sam lupa bahwa sejak dulu mereka bersama–Agung, Sam, dan Iwank–tidak pernah peduli dengan berbagai takhyul, makhluk halus, roh jahat, roh baik, roh genit, dan sebagainya?

Agung berjalan melewati taman pemakaman kecil itu, dan malah melotot ke arah pohon penjaga itu dengan rasa sebal. Ini nih yang dibesar-besarkan oleh Sam? Sama sekali tidak menyeramkan bagi Agung. Hanya seonggok kayu tua berambut daun.

Apa salahnya melihat-lihat sejenak?

Agung mengeluarkan gantungan kunci dari sakunya. Gantungan kunci itu berupa senter kecil. Lumayan untuk menerangi jalan di depannya. Agung mengetuk-ngetuk senter cilik itu untuk menyalakannya. Susah juga. Maklum senter kuno, jarang dipakai.

Begitu berhasil menyala, hal pertama yang disorot oleh senter itu adalah seekor kucing hitam di atas sebuah makam yang langsung mengeong kencang ke arah Agung. Agung kaget bukan main, hingga mundur beberapa langkah ke belakang, tersandung sebuah makam, dan jatuh. Senter itu mati lagi.

“Anjrit!” umpat Agung kesal. Kucing hitam bermata hijau menyala melompat pergi, menjauh, lantas memanjat pohon tua itu.

Bla-bla-bla-bla

Sebuah suara perempuan yang terkekeh-kekeh di dekatnya membuat Agung melonjak kaget.

“Siapa?!” Agung berputar ke sekelilingnya sambil menyorotkan senternya “Siapa?!” Tidak ada sesosok manusia pun tampak di sekeliling Agung. Namun, Agung mendengar daun-daun di pohon tua itu bergerak-gerak, saling bergesekan dengan kencang, seolah ada sesuatu yang bergerak-gerak di balik daun-daun itu.

Bla-bla-bla-bla

Kaki Agung membentur pagar tembok yang mengelilingi pohon itu. Agung jongkok, lantas memerhatikan ukiran yang menghiasi keramik di pagar tembok tersebut. Sebuah motif batik yang tidak jelas apa bentuk dasarnya tertera di situ. Agung tidak bisa memastikan apakah itu gambar daun, parang, atau bunga.

Agung mengetuk-ngetuk keramik itu, hingga akhirnya pecah sepotong. Dengan senang, Agung mengambil potongan keramik itu, dan mengantunginya. Angin tiba-tiba menyapu kaki Agung, membuat daun-daun kering sekitar tanah itu berterbangan. Agung tertegun. Dirasakannya bulu kuduknya berdiri.

Bla-bla-bla-bla

Kali ini Agung selamat.

Firdi Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar