Pages

Kuntilanak -BAB 2-


MENGALAHKAN WAKTU

Ini adalah kelanjutan dari Novel Adaptasi “Kuntilanak”. 


Untuk para readers  yang belum membaca cerita awalnya,klik di sini!

(gue cut yah.. J *ceritanya sedikit ngga penting* dan supaya..... J)

            Taksi yang membawa Sam berbelok meninggalkan keramaian jalan raya, masuk ke sebuah gang yang hanya cukup memuat satu badan mobil saja. Dua puluh meter, dan keramaian itu tinggal sayup-sayup saja di latar belakang. Jalan mengerucut dan menyempit.

            “Benar di sini, ya, Pak?” Sam sedikit ragu.

            Sopir taksi meyakinkan bahwa nama jalan itu sesuai dengan yang tertera di iklan halaman baris yang dipegang Sam sebagai petunjuk. “Kelihatannya, Neng mesti lanjut dengan jalan kaki.” Sebuah kesimpulan yang masuk akal.

            Sam mengeluarkan koper dan ranselnya dari bagasi taksi. Sementara taksi berjalan mundur meninggalkan tempat itu. Sam kembali memeriksa guntingan halaman iklan baris dari koran itu. Kelihatannya, Sam berada di jalan yang benar menuju rumah kost yang ia cari.

            Sam harus menyeret koper dan memanggul ranselnya melewati gang kecil yang sebenarnya adalah sebuah celah antara deretan ruko dan lahan pembuangan sampah. Sebuah sepeda motor yang lewat dari arah berlawanan cukup membuat Sam repot harus menepi.

            Gang sempit itu berujung di sebuah turunan yang agak curam. Susah payah Sam menjaga langkahnya yang terbebani dengan ransel dan koper untuk menuruni jalan sekitar satu setengah meter tingginya.

            Dari situ, terbentang sebuh kompleks yang cukup ramai.........

(gue cut lagi yah.. J *capek ngetik* dan supaya..... J)
...........

“Eh, Neng!” teguran Bang Udin membuat Sam menahan langkahnya sejenak. “Ntar kalau lewat kuburan yang ada pohon gede itu, permisi-permisi aja, ya.”

Sam mengerutkan dahinya, bingung.

“Bukannya Abang mau nakut-nakutin. Tapi Neng kan orang baru di sini. Itu pohon umurnya lebih tua dari engkong-nya Abang sendiri. Hehehe. Jadi Neng bilang aja mau numpang lewat, ya.” Bang Udin lanjut menjelaskan.

Sam hanya menganggukkan kepalanya dengan gugup. Bulu kuduknya terasa berdiri, ada desiran angin kecil di tengkuknya.

***

Pohon tua yang dimaksud Bang Udin terletak di tengah taman pemakaman kecil. Sam tidak pernah memandang taman pemakaman sebagai sebuah tempat mengerikan. Apalagi, siang itu juga ada tiga orang anak perempuan yang sedang asyik bermain lompat tali di sekitarnya sambil tertawa-tawa ceria.

Sam merasa konyol harus bersopan santun pada sebatang pohon. Namun, penampilan pohon beringin berusia ratusan tahun itu memang memikat perhatiannya. Akarnya sudah mencuat ke permukaan tanah. Bagaikan patung dewa keramat, batang pohon itu dilindungi oleh sebuah pagar tembok berlapis keramik dengan motif batik. Suluran pohon itu bagaikan rambut yang menjuntai hingga ke tanah, bertemu dengan barisan kuburan yang seolah berlindung di bawah naungannya. Dahan-dahan utamanya tampak begitu kuat dan kokoh. Ranting-rantingnya lebat dipenuhi oleh dedaunan.

Sam mendekat, memerhatikan pohon itu sejenak. Ini pertama kalinya Sam berada dalam jarak yang begitu dekat dengan sebuah pohon beringin tua. Desir angin yang menerpa dedaunnya menciptakan suara nan teduh. Sinar mentari sama sekali tidak mampu menembus naungan alam itu. Sejenak, ada kedamaian menyelimuti tubuh Sam. Tanpa sadar, Sam memejamkan matanya, dan menikmati kenyamanan di bawah lindungan pohon tua itu.

Ketika matanya terbuka, Sam tersenyum ke arah pohon itu. Ia tidak mengerti kenapa harus “permisi-permisi” pada si pohon. Sam merasa tidak perlu berbasa-basi dengan seorang sahabat. Ya, entah mengapa, Sam merasa pohon beringin itu seperti seorang sahabat lmanya.

Sam membelai batang pohon yang kasar itu. Cukup dengan senyumannya, Sam menyatakan pamit, permisi, salam kompak, atau apalah. Yang jelas, Sam tidak merasa adanya permusuhan antaranya dengan pohon itu.

Dan pohon itu menyaksikan Sam berjalan menjuh ke arah sebuah rumah tua besar bergaya Belanda.

***

Rumah berlantai tiga itu tampak megah. Hanya dengan menatapnya, Sam seolah bisa melihat keindahan dan kemewahan rumah itu zaman dulu. Mungkin bangsawan-bangsawan berpesta di dalamnya. Mereka datang dengan kereta kuda, dan anak-anak gadis turun dari dalamnya, mengenakan rok lebar berlipit-lipit. Mungkin abdi-abdi dalem melayani tuan-tuan dan majikan-majikan yang datang sekadar untuk minum teh bersama. Mungkin gending atau keroncong mengalun tiada henti dari dalam rumah itu.

(cut yah.. J Peace! Lanjut ke paragraf-paragraf selanjutnya..... J)

“Masuk, Sam,” sekilas sebuah bisikan yang dititipkan pada angin menelusup ke indra pendengaran Sam.

Sam menoleh. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa di depan teras rumah itu. Kening gadis cantik itu mengerenyit heran. Sam merasa ada orang yang barusan berbisik dan menyebut namanya.

(lewati yang ini ya.. :p)

“Ahhh!” Sam memekik kaget. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Di hadapannya berdiri seorang perempuan berusia sekitar lima puluh tahunan.

“Kamu yang kemarin menelepon?” tanyanya. Ia sama sekali tak menunjukan reaksi ketika Sam menjerit kaget.

Sam tergugup. “I ... iya.”

“Saya Bu Yanti, yang menjaga rumah ini.” Perempuan itu tersenyum memperkenalkan dirinya. Pembawaannya yang tenang melegakan hati Sam. Sebersit rasa malu menelusup ke hati Sam karena berteriak ketika melihat perempuan itu tiba-tiba telah berdiri di belakangnya.

“Ayo, masuk,” ajak Bu Yanti.

                                                               ***

(sambung ke bagian yang lain ya.. :p)
......

            “Ini lantai bawah. Di samping kanan itu adalah deretan kamar anak-anak lelaki. Di samping kiri ada tempat buat duduk-duduk sambil nonton televisi. Di ujungnya ada kamar-kamar mandi dan dapur kecil. Itu semua boleh dipakai bersama. Tapi anak perempuan ngga boleh masuk ke kamar anak lelaki, ya,” jelas Bu Yanti.

         Sam lebih tertarik memerhatikan deretan foto yang berada di atas laci antik. Foto-foto itu menampilkan penghuni-penghuninya dulu dan zaman keemasan rumah megah bergaya Belanda yang sebentar lagi menjadi kostannya. Sebuah foto yang menampilkan papan nama “Mangkoedjiwo” di muka rumah itu pada satu masa di waktu lampau. Ada pula foto sederetan perempuan berkain batik anggun, berdiri rapi di sebuah taman. Kelihatannya taman itu adalah pekarangan samping rumah yang tadi Sam lihat. Ternyata, dulu taman itu cukup indah dan rimbun.

            Foto lainnya menampilkan tiga orang perempuan tua sedang bersimpuh rapi di depan sebuah pohon besar. Mereka semua mengenakan kain batik dan kebaya putih yang rapi. Kalau diperhatikan baik-baik, umur para perempuan itu mungkin sekitar delapan puluh tahun.

            Bu Yanti tersenyum melihat ketertarikan Sam atas foto-foto kuno itu. Ia tergerak untuk memberikan penjelasan. “Dulu tempat ini adalah pabrik batik Mangkoedjiwo. Dari anak tuan tanah sampai meneer-meneer Belanda suka memesan batik di sini. Bisa dibilang pabrik batik pertama di Betawi dulu, waktu masih zaman Belanda. Tapi terus kebakaran. Semua alat membatiknya habis.”

            “Tapi rumahnya ngga ya, Bu?”

            Bu Yanti tersenyum bangga. “Rumah zaman dulu kan kuat-kuat. Namanya juga rumah zaman perang. Temboknya ngga bakal hancur tujuh turunan. Paling permukaannya saja yang rusak. Selebihnya masih kokoh.”

            “Foto-fotonya kok perempuan semua, ya Bu?” tanya Sam sedikit penasaran.

            Bu Yanti hanya menjawab dengan senyum di ujung bibirnya. “Kamar kamu di lantai tiga. Mari.”

Perempuan separuh baya itu membawa koper Sam naik ke sebuah tangga besar di ujung ruangan, tepat sebelum pintu menuju pemandangan taman tengah itu. Gersang, dan dipenuhi oleh tali-tali yang dipakai untuk menjemur pakaian. Selimut-selimut batik besar melambai-lambai tertiup angin semilir, tanda sinar matahari sudah mengeringkannya.

Sam mengikuti Bu Yanti naik ke tangga itu. Lantai dua ditutup rapat oleh sepasang daun pintu yang dikunci dengan rantai dan gembok. Berhadapan dengan pintu itu ada sebuah lukisan besar digantung di tembok. Lukisan seorang perempuan anggun yang mengenakan kebaya dan kain batik.

“Itu Raden Ndoro Ayu Sukmarahimi Mangkoedjiwo. Dia itu cicitnya Panembahan Wiryocakti Mangkoedjiwo. Beliau masih sehat walafiat sampai sekarang, tinggal di tengah kota. Punya usaha restoran,” jelas Bu Yanti tanpa diminta Sam.

Sam terpesona oleh lukisan bergaya realis itu. Mata perempuan itu demikian hidup, seolah melirik dan memerhatikan setiap gerak di sekitar tangga itu, khususnya ruangan tertutup di hadapannya. Di bawah lukisan itu ada sebuah piring perunggu kosong. Di kedua sisinya ada sepasang penyangga lilin dari perak. Batang-batang lilin yang tertancap di atasnya tampak sudah lama tidak dinyalakan.

“Ini piring buat apa, Bu?” tanya Sam penuh rasa penasaran.

Bu Yanti hanya mengerling sejenak ke piring kosong itu, lantas berseru ke arah bawah tangga. “Mboook! Tolong nih, piring dibereskan. Bekas makan siapa, tuh?”

Sam mengerutkan dahinya. Sekali lagi ia melirik ke arah piring perunggu kosong yang ada di bawah lukisan. Piring itu bersih, tak menunjukan bekas digunakan sebagai tempat makan. Bahkan menurut Sam, piring itu sama sekali tidak mirip seperti piring makan. Namun, tampaknya Bu Yanti mengacuhkan kecurigaan Sam itu.

“Pintu ini sudah lama digembok oleh Ndoro Ayu Sukma,” Bu Yanti lebih mementingkan petunjuk selanjutnya mengenai rumah itu. “Apa pun yang terjadi, jangan coba-coba masuk ke dalamnya.”

Sekilas, Sam memandang kembali ke arah pintu itu. Peringatan yang disampaikan Bu Yanti justru menyulut rasa ingin tahunya. Sam semakin penasaran. Perempuan muda itu semakin ingin tahu ada apa di balik pintu yang tertutup rapat itu. Sambil melanjutkan langkahnya ke arah lantai tiga, Sam masih sempat berusaha mengintip ada apa di balik pintu itu lewat lubang-lubang kaca di sisinya. Bu Yanti tampak kesal melihat tingkah Sam itu.

“Aturan di rumah ini ngga banyak, tapi harus diturutin. Ingat, biar bagaimanapun kamu sedang menumpang di rumah orang!” Nada bicara Bu Yanti yang tegas itu membuat Sam terlonjak dan jadi sedikit takut.

(cut! Sam berkenalan dengan perempuan sebaya bernama Dinda- kerjaan sampingannya sih jual akssesoris)
...........

Sam hanya bisa menggeleng, sambil mendekat ke sebuah cermin besar yang panjang di dinding kamar itu. Sebuah cermin tua berbingkai perak yang sudah kusam. Ukiran yang menghiasinya tampak demikian kuat. Tepat di tengah-tengah bagian atas, ada sebuah kepala tokoh wayang-entah siapa, Sam tidak bisa menerkanya-yang menjulur dan menyeringai ke arah siapa saja yang tengah bercermin di hadapannya. Di kedua sisi cermin itu ada dua buah tanduk menjulur ke depan, bagaikan sepasang gading gajah, atau taring raksasa.

Sam memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia melihat dirinya seolah dilindungi oleh kepala wayang dan kedua taring raksasa di cermin tua. Bayangan dirinya yang terpantul di sana tampak nyaman di balik perlindungan wayang dan tanduk yang menjadi ornamen cermin.

“Bagus sekali,” gumam Sam memuji keindahan cermin itu.

Bu Yanti tersenyum tenang. “Cermin itu dibuat oleh tangan Kanjeng Mangkoedjiwo sendiri. Dulu ada banyak. Sekarang tinggal sedikit yang bertahan gara-gara kebakaran itu. Kamu beruntung dapat kamar yang ada cermin ini.”

Sam tersenyum senang, memandang ke Bu Yanti. “Ibu yakin harga kamar ini sama dengan yang lain?”[37]

(lewati bagian yang ini...)
.............

Sam segera mengganti topik pembicaraan sebelum Bu Yanti bertanya lebih jauh. “Lebih tua mana, Bu? Rumah ini atau pohon di kuburan itu?”

Bu Yanti tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. “Pohon itu. Pohon Kuntilanak.”
Sam bengong. “Hah?”

Bu Yanti malah tertawa tambah geli melihat Sam kaget. “Orang sini nyebutnya begitu. Tapi kamu ngga usah tanggepin. Kuntilanak kan cuma rekaan orang tua zaman dulu aja buat nakut-nakutin anak-anak kecil supaya ngga bandel. Dulu, nenek saya sering ngomel kalau saya keluyuran di luar rumah selepas maghrib. Bisa diculik Kuntilanak, katanya. Ada-ada saja.”

Sam lega karena ternyata Bu Yanti hanya menggodanya.

“Terus,” lanjut Bu Yanti, “katanya Kuntilanak kalau tertawa begini nih,” Bu Yanti meninggikan suaranya, dan mengeluarkan tawa yang terdengar konyol, “Hi,hi,hi,hi,hiii ....”

Sam dan Bu Yanti tertawa-tawa geli.

“Waduh, mirip tuh, Bu!” Sam menggoda Bu Yanti.

Tiba-tiba Bu Yanti meraih tangan Sam erat-erat, lantas berbisik serius di telinga Sam. “Tapi kamu harus tahu, bahwa kalau dia tertawa keras berarti ia jauh. Kalau tertawanya kecil, berarti ia ada di dekat kamu.”

Sam terkesiap, kaget. Bu Yanti melepas tangan Sam, berbalik, dan lantas menyibukkan dirinya dengan merapikan ranjang Sam.

Sam bingung melihat tingkah Bu Yanti yang aneh itu. Sam meyakinkan dirinya bahwa baru saja Bu Yanti mengatakan sesuatu yang terdengar tidak masuk akal sama sekali dengan sangat serius.

“Lho, Bu?” Sam berkata bingung. “Tadi katanya Kuntilanak ngga ada. Tapi kok Ibu barusan bilang ....”

Bu Yanti memotong kata-kata Sam sambil tetap merapikan ranjang Sam. “Kuntilanak juga bisa dipanggil dengan gending seperti ini.” Perempuan itu lantas menyanyikan sebuah gending Jawa.

Lingsir wengi sliramu tumeking sirno ...
Ojo tangi nggonmu guling ...
Awas jo ngetoro ...
dst ...

Suara gending itu perlahan menyerang pendengaran Sam, dan dengan tajam menyelinap ke dalam kepala Sam. Sam merasa pening yang sangat. Ia berusaha menutup telinganya, tetapi gending itu seperti merambat masuk ke dalam jiwanya, melekat erat-erat dalam otaknya, lantas menusuk-nusuk seluruh tulang wajah Sam. Sam terhuyung-huyung di belakang Bu Yanti yamg menggending dengan tenang sambil membuka semua kain kelambu yang menutupi ranjang itu.

Dalam keadaan terhuyung, Sam memandang ke luar jendela. Ia melihat pohon tua di kuburan itu bergerak-gerak seperti tertiup angin besar sementara gending itu dilantunkan. Di bawah pohon itu, seekor kuda putih bersembunyi. Sam tercekat melihatrnya.

“Kamu ngga apa-apa?” Bu Yanti menyadarkan Sam. Sam terperanjat kaget.

Bu Yanti sudah selesai melantunkan gending itu, memerhatikan Sam dengan bingung dan curiga. Terbata-bata Sam bertanya, “Ibu nyanyi apa?”

Bu Yanti memeandang Sam dengan tajam. Tatapannya menyelidik masuk ke dalam batin Sam. Sam membalas tatapan Bu Yanti itu dengan penasaran.

Lantas Bu Yanti tersenyum geli, dan tertawa santai. “Kamu tuh gampang dibecandain,” Bu Yanti menggoda dengan nada usil. “Emang kamu percaya Kuntilanak itu ada? Itu Cuma mitos. Lagian, kalo saya yang nyanyi sih, dia ngga bakal dateng. Mesti yang punya wangsit!”

Sam masih tidak bisa mengerti apa yang Bu Yanti coba sampaikan. Omongan Bu Yanti serba bertolak belakang. Sam tetap tidak bisa memastikan apakah Bu Yanti menganggap Kuntilanak itu ada atau tidak,. Namun yang pasti, pusing yang tiba-tiba menyerang Sam langsung hilang begitu gending tadi selesai dinyanyikan.

Sam melihat sekali lagi ke pohon tua di kuburan. Pohon Kuntilanak. Pohon itu berdiri tegap dan tenang. Tidak ada kuda putih di bawahnya. Tidak ada Kuntilanak juga. Semua hanya khayalan Sam, atau mimpi buruk yang kembali menyerangnya di tengah hari bolong.

Firdi Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar