MENGALAHKAN WAKTU
Ini adalah kelanjutan dari Novel Adaptasi “Kuntilanak”.
Untuk para readers yang belum membaca cerita awalnya,klik di sini!
Untuk para readers yang belum membaca cerita awalnya,klik di sini!
(gue cut yah.. J *ceritanya sedikit ngga penting* dan supaya.....
J)
Taksi yang membawa Sam berbelok
meninggalkan keramaian jalan raya, masuk ke sebuah gang yang hanya cukup memuat
satu badan mobil saja. Dua puluh meter, dan keramaian itu tinggal sayup-sayup
saja di latar belakang. Jalan mengerucut dan menyempit.
“Benar di sini, ya, Pak?” Sam
sedikit ragu.
Sopir taksi meyakinkan bahwa nama
jalan itu sesuai dengan yang tertera di iklan halaman baris yang dipegang Sam
sebagai petunjuk. “Kelihatannya, Neng mesti lanjut dengan jalan kaki.” Sebuah
kesimpulan yang masuk akal.
Sam mengeluarkan koper dan ranselnya
dari bagasi taksi. Sementara taksi berjalan mundur meninggalkan tempat itu. Sam
kembali memeriksa guntingan halaman iklan baris dari koran itu. Kelihatannya,
Sam berada di jalan yang benar menuju rumah kost yang ia cari.
Sam harus menyeret koper dan
memanggul ranselnya melewati gang kecil yang sebenarnya adalah sebuah celah
antara deretan ruko dan lahan pembuangan sampah. Sebuah sepeda motor yang lewat
dari arah berlawanan cukup membuat Sam repot harus menepi.
Gang sempit itu berujung di sebuah
turunan yang agak curam. Susah payah Sam menjaga langkahnya yang terbebani
dengan ransel dan koper untuk menuruni jalan sekitar satu setengah meter
tingginya.
Dari situ, terbentang sebuh kompleks
yang cukup ramai.........
(gue cut lagi yah.. J *capek ngetik* dan supaya..... J)
...........
“Eh, Neng!” teguran Bang Udin membuat Sam menahan
langkahnya sejenak. “Ntar kalau lewat kuburan yang ada pohon gede itu,
permisi-permisi aja, ya.”
Sam mengerutkan dahinya, bingung.
“Bukannya Abang mau nakut-nakutin. Tapi Neng kan
orang baru di sini. Itu pohon umurnya lebih tua dari engkong-nya Abang sendiri.
Hehehe. Jadi Neng bilang aja mau numpang lewat, ya.” Bang Udin lanjut
menjelaskan.
Sam hanya menganggukkan kepalanya dengan gugup. Bulu
kuduknya terasa berdiri, ada desiran angin kecil di tengkuknya.
***
Pohon tua yang dimaksud Bang Udin terletak di tengah
taman pemakaman kecil. Sam tidak pernah memandang taman pemakaman sebagai
sebuah tempat mengerikan. Apalagi, siang itu juga ada tiga orang anak perempuan
yang sedang asyik bermain lompat tali di sekitarnya sambil tertawa-tawa ceria.
Sam merasa konyol harus bersopan santun pada
sebatang pohon. Namun, penampilan pohon beringin berusia ratusan tahun itu
memang memikat perhatiannya. Akarnya sudah mencuat ke permukaan tanah. Bagaikan
patung dewa keramat, batang pohon itu dilindungi oleh sebuah pagar tembok
berlapis keramik dengan motif batik. Suluran pohon itu bagaikan rambut yang
menjuntai hingga ke tanah, bertemu dengan barisan kuburan yang seolah
berlindung di bawah naungannya. Dahan-dahan utamanya tampak begitu kuat dan
kokoh. Ranting-rantingnya lebat dipenuhi oleh dedaunan.
Sam mendekat, memerhatikan pohon itu sejenak. Ini
pertama kalinya Sam berada dalam jarak yang begitu dekat dengan sebuah pohon
beringin tua. Desir angin yang menerpa dedaunnya menciptakan suara nan teduh.
Sinar mentari sama sekali tidak mampu menembus naungan alam itu. Sejenak, ada
kedamaian menyelimuti tubuh Sam. Tanpa sadar, Sam memejamkan matanya, dan
menikmati kenyamanan di bawah lindungan pohon tua itu.
Ketika matanya terbuka, Sam tersenyum ke arah pohon
itu. Ia tidak mengerti kenapa harus “permisi-permisi” pada si pohon. Sam merasa
tidak perlu berbasa-basi dengan seorang sahabat. Ya, entah mengapa, Sam merasa
pohon beringin itu seperti seorang sahabat lmanya.
Sam membelai batang pohon yang kasar itu. Cukup dengan
senyumannya, Sam menyatakan pamit, permisi, salam kompak, atau apalah. Yang
jelas, Sam tidak merasa adanya permusuhan antaranya dengan pohon itu.
Dan pohon itu menyaksikan Sam berjalan menjuh ke
arah sebuah rumah tua besar bergaya Belanda.
***
Rumah berlantai tiga itu tampak megah. Hanya dengan
menatapnya, Sam seolah bisa melihat keindahan dan kemewahan rumah itu zaman
dulu. Mungkin bangsawan-bangsawan berpesta di dalamnya. Mereka datang dengan
kereta kuda, dan anak-anak gadis turun dari dalamnya, mengenakan rok lebar
berlipit-lipit. Mungkin abdi-abdi dalem
melayani tuan-tuan dan majikan-majikan yang datang sekadar untuk minum teh
bersama. Mungkin gending atau keroncong mengalun tiada henti dari dalam rumah
itu.
(cut yah.. J Peace! Lanjut ke paragraf-paragraf
selanjutnya..... J)
“Masuk, Sam,” sekilas sebuah bisikan yang dititipkan
pada angin menelusup ke indra pendengaran Sam.
Sam menoleh. Ia mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa di depan teras rumah itu. Kening gadis
cantik itu mengerenyit heran. Sam merasa ada orang yang barusan berbisik dan
menyebut namanya.
(lewati yang ini ya.. :p)
“Ahhh!” Sam memekik kaget. Jantungnya seolah
berhenti berdetak. Di hadapannya berdiri seorang perempuan berusia sekitar lima
puluh tahunan.
“Kamu yang kemarin menelepon?” tanyanya. Ia sama
sekali tak menunjukan reaksi ketika Sam menjerit kaget.
Sam tergugup. “I ... iya.”
“Saya Bu Yanti, yang menjaga rumah ini.” Perempuan
itu tersenyum memperkenalkan dirinya. Pembawaannya yang tenang melegakan hati
Sam. Sebersit rasa malu menelusup ke hati Sam karena berteriak ketika melihat
perempuan itu tiba-tiba telah berdiri di belakangnya.
“Ayo, masuk,” ajak Bu Yanti.
***
(sambung ke bagian yang lain
ya.. :p)
......
“Ini lantai bawah. Di samping kanan
itu adalah deretan kamar anak-anak lelaki. Di samping kiri ada tempat buat
duduk-duduk sambil nonton televisi. Di ujungnya ada kamar-kamar mandi dan dapur
kecil. Itu semua boleh dipakai bersama. Tapi anak perempuan ngga boleh masuk ke
kamar anak lelaki, ya,” jelas Bu Yanti.
Sam lebih tertarik memerhatikan
deretan foto yang berada di atas laci antik. Foto-foto itu menampilkan
penghuni-penghuninya dulu dan zaman keemasan rumah megah bergaya Belanda yang
sebentar lagi menjadi kostannya. Sebuah foto yang menampilkan papan nama
“Mangkoedjiwo” di muka rumah itu pada satu masa di waktu lampau. Ada pula foto
sederetan perempuan berkain batik anggun, berdiri rapi di sebuah taman.
Kelihatannya taman itu adalah pekarangan samping rumah yang tadi Sam lihat.
Ternyata, dulu taman itu cukup indah dan rimbun.
Foto lainnya menampilkan tiga orang
perempuan tua sedang bersimpuh rapi di depan sebuah pohon besar. Mereka semua
mengenakan kain batik dan kebaya putih yang rapi. Kalau diperhatikan baik-baik,
umur para perempuan itu mungkin sekitar delapan puluh tahun.
Bu Yanti tersenyum melihat
ketertarikan Sam atas foto-foto kuno itu. Ia tergerak untuk memberikan
penjelasan. “Dulu tempat ini adalah pabrik batik Mangkoedjiwo. Dari anak tuan
tanah sampai meneer-meneer Belanda
suka memesan batik di sini. Bisa dibilang pabrik batik pertama di Betawi dulu,
waktu masih zaman Belanda. Tapi terus kebakaran. Semua alat membatiknya habis.”
“Tapi rumahnya ngga ya, Bu?”
Bu Yanti tersenyum bangga. “Rumah
zaman dulu kan kuat-kuat. Namanya juga rumah zaman perang. Temboknya ngga bakal
hancur tujuh turunan. Paling permukaannya saja yang rusak. Selebihnya masih
kokoh.”
“Foto-fotonya kok perempuan semua,
ya Bu?” tanya Sam sedikit penasaran.
Bu Yanti hanya menjawab dengan
senyum di ujung bibirnya. “Kamar kamu di lantai tiga. Mari.”
Perempuan
separuh baya itu membawa koper Sam naik ke sebuah tangga besar di ujung
ruangan, tepat sebelum pintu menuju pemandangan taman tengah itu. Gersang, dan
dipenuhi oleh tali-tali yang dipakai untuk menjemur pakaian. Selimut-selimut
batik besar melambai-lambai tertiup angin semilir, tanda sinar matahari sudah
mengeringkannya.
Sam mengikuti Bu Yanti naik ke tangga itu. Lantai
dua ditutup rapat oleh sepasang daun pintu yang dikunci dengan rantai dan
gembok. Berhadapan dengan pintu itu ada sebuah lukisan besar digantung di
tembok. Lukisan seorang perempuan anggun yang mengenakan kebaya dan kain batik.
“Itu Raden Ndoro Ayu Sukmarahimi Mangkoedjiwo. Dia
itu cicitnya Panembahan Wiryocakti Mangkoedjiwo. Beliau masih sehat walafiat
sampai sekarang, tinggal di tengah kota. Punya usaha restoran,” jelas Bu Yanti
tanpa diminta Sam.
Sam terpesona oleh lukisan bergaya realis itu. Mata
perempuan itu demikian hidup, seolah melirik dan memerhatikan setiap gerak di
sekitar tangga itu, khususnya ruangan tertutup di hadapannya. Di bawah lukisan
itu ada sebuah piring perunggu kosong. Di kedua sisinya ada sepasang penyangga
lilin dari perak. Batang-batang lilin yang tertancap di atasnya tampak sudah
lama tidak dinyalakan.
“Ini piring buat apa, Bu?” tanya Sam penuh rasa
penasaran.
Bu Yanti hanya mengerling sejenak ke piring kosong
itu, lantas berseru ke arah bawah tangga. “Mboook! Tolong nih, piring
dibereskan. Bekas makan siapa, tuh?”
Sam
mengerutkan dahinya. Sekali lagi ia melirik ke arah piring perunggu kosong yang
ada di bawah lukisan. Piring itu bersih, tak menunjukan bekas digunakan sebagai
tempat makan. Bahkan menurut Sam, piring itu sama sekali tidak mirip seperti
piring makan. Namun, tampaknya Bu Yanti mengacuhkan kecurigaan Sam itu.
“Pintu ini sudah lama digembok oleh Ndoro Ayu
Sukma,” Bu Yanti lebih mementingkan petunjuk selanjutnya mengenai rumah itu.
“Apa pun yang terjadi, jangan coba-coba masuk ke dalamnya.”
Sekilas, Sam memandang kembali ke arah pintu itu.
Peringatan yang disampaikan Bu Yanti justru menyulut rasa ingin tahunya. Sam
semakin penasaran. Perempuan muda itu semakin ingin tahu ada apa di balik pintu
yang tertutup rapat itu. Sambil melanjutkan langkahnya ke arah lantai tiga, Sam
masih sempat berusaha mengintip ada apa di balik pintu itu lewat lubang-lubang
kaca di sisinya. Bu Yanti tampak kesal melihat tingkah Sam itu.
“Aturan di rumah ini ngga banyak, tapi harus
diturutin. Ingat, biar bagaimanapun kamu sedang menumpang di rumah orang!” Nada
bicara Bu Yanti yang tegas itu membuat Sam terlonjak dan jadi sedikit takut.
(cut! Sam berkenalan dengan
perempuan sebaya bernama Dinda- kerjaan sampingannya sih jual akssesoris)
...........
Sam hanya bisa menggeleng, sambil mendekat ke sebuah
cermin besar yang panjang di dinding kamar itu. Sebuah cermin tua berbingkai
perak yang sudah kusam. Ukiran yang menghiasinya tampak demikian kuat. Tepat di
tengah-tengah bagian atas, ada sebuah kepala tokoh wayang-entah siapa, Sam
tidak bisa menerkanya-yang menjulur dan menyeringai ke arah siapa saja yang
tengah bercermin di hadapannya. Di kedua sisi cermin itu ada dua buah tanduk
menjulur ke depan, bagaikan sepasang gading gajah, atau taring raksasa.
Sam memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia
melihat dirinya seolah dilindungi oleh kepala wayang dan kedua taring raksasa
di cermin tua. Bayangan dirinya yang terpantul di sana tampak nyaman di balik
perlindungan wayang dan tanduk yang menjadi ornamen cermin.
“Bagus sekali,” gumam Sam memuji keindahan cermin
itu.
Bu Yanti tersenyum tenang. “Cermin itu dibuat oleh
tangan Kanjeng Mangkoedjiwo sendiri. Dulu ada banyak. Sekarang tinggal sedikit
yang bertahan gara-gara kebakaran itu. Kamu beruntung dapat kamar yang ada
cermin ini.”
Sam tersenyum senang, memandang ke Bu Yanti. “Ibu
yakin harga kamar ini sama dengan yang lain?”[37]
(lewati bagian yang ini...)
.............
Sam segera mengganti topik pembicaraan sebelum Bu
Yanti bertanya lebih jauh. “Lebih tua mana, Bu? Rumah ini atau pohon di kuburan
itu?”
Bu Yanti tertawa kecil mendengar pertanyaan itu.
“Pohon itu. Pohon Kuntilanak.”
Sam bengong. “Hah?”
Bu Yanti malah tertawa tambah geli melihat Sam
kaget. “Orang sini nyebutnya begitu. Tapi kamu ngga usah tanggepin. Kuntilanak
kan cuma rekaan orang tua zaman dulu aja buat nakut-nakutin anak-anak kecil
supaya ngga bandel. Dulu, nenek saya sering ngomel kalau saya keluyuran di luar
rumah selepas maghrib. Bisa diculik Kuntilanak, katanya. Ada-ada saja.”
Sam lega karena ternyata Bu Yanti hanya menggodanya.
“Terus,” lanjut Bu Yanti, “katanya Kuntilanak kalau
tertawa begini nih,” Bu Yanti meninggikan suaranya, dan mengeluarkan tawa yang
terdengar konyol, “Hi,hi,hi,hi,hiii ....”
Sam dan Bu Yanti tertawa-tawa geli.
“Waduh, mirip tuh, Bu!” Sam menggoda Bu Yanti.
Tiba-tiba Bu Yanti meraih tangan Sam erat-erat,
lantas berbisik serius di telinga Sam. “Tapi kamu harus tahu, bahwa kalau dia
tertawa keras berarti ia jauh. Kalau tertawanya kecil, berarti ia ada di dekat
kamu.”
Sam terkesiap, kaget. Bu Yanti melepas tangan Sam,
berbalik, dan lantas menyibukkan dirinya dengan merapikan ranjang Sam.
Sam bingung melihat tingkah Bu Yanti yang aneh itu.
Sam meyakinkan dirinya bahwa baru saja Bu Yanti mengatakan sesuatu yang
terdengar tidak masuk akal sama sekali dengan sangat serius.
“Lho, Bu?” Sam berkata bingung. “Tadi katanya
Kuntilanak ngga ada. Tapi kok Ibu barusan bilang ....”
Bu Yanti memotong kata-kata Sam sambil tetap merapikan
ranjang Sam. “Kuntilanak juga bisa dipanggil dengan gending seperti ini.”
Perempuan itu lantas menyanyikan sebuah gending Jawa.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno ...
Ojo tangi nggonmu guling ...
Awas jo ngetoro ...
dst ...
Suara gending itu perlahan menyerang pendengaran
Sam, dan dengan tajam menyelinap ke dalam kepala Sam. Sam merasa pening yang
sangat. Ia berusaha menutup telinganya, tetapi gending itu seperti merambat
masuk ke dalam jiwanya, melekat erat-erat dalam otaknya, lantas menusuk-nusuk
seluruh tulang wajah Sam. Sam terhuyung-huyung di belakang Bu Yanti yamg
menggending dengan tenang sambil membuka semua kain kelambu yang menutupi
ranjang itu.
Dalam keadaan terhuyung, Sam memandang ke luar
jendela. Ia melihat pohon tua di kuburan itu bergerak-gerak seperti tertiup
angin besar sementara gending itu dilantunkan. Di bawah pohon itu, seekor kuda
putih bersembunyi. Sam tercekat melihatrnya.
“Kamu ngga apa-apa?” Bu Yanti menyadarkan Sam. Sam
terperanjat kaget.
Bu Yanti sudah selesai melantunkan gending itu,
memerhatikan Sam dengan bingung dan curiga. Terbata-bata Sam bertanya, “Ibu
nyanyi apa?”
Bu Yanti memeandang Sam dengan tajam. Tatapannya
menyelidik masuk ke dalam batin Sam. Sam membalas tatapan Bu Yanti itu dengan
penasaran.
Lantas Bu Yanti tersenyum geli, dan tertawa santai.
“Kamu tuh gampang dibecandain,” Bu Yanti menggoda dengan nada usil. “Emang kamu
percaya Kuntilanak itu ada? Itu Cuma mitos. Lagian, kalo saya yang nyanyi sih,
dia ngga bakal dateng. Mesti yang punya wangsit!”
Sam masih tidak bisa mengerti apa yang Bu Yanti coba
sampaikan. Omongan Bu Yanti serba bertolak belakang. Sam tetap tidak bisa
memastikan apakah Bu Yanti menganggap Kuntilanak itu ada atau tidak,. Namun
yang pasti, pusing yang tiba-tiba menyerang Sam langsung hilang begitu gending
tadi selesai dinyanyikan.
Sam melihat sekali lagi ke pohon tua di kuburan.
Pohon Kuntilanak. Pohon itu berdiri tegap dan tenang. Tidak ada kuda putih di
bawahnya. Tidak ada Kuntilanak juga. Semua hanya khayalan Sam, atau mimpi buruk
yang kembali menyerangnya di tengah hari bolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar