Pages

Kuntilanak –Bab 4–

ADA SUARA ORANG MANDI

Ini adalah kelanjutan dari Novel Adaptasi “Kuntilanak”.

Untuk para readers  yang belum membaca cerita sebelumnya, klik di sini!

Dan cerita paling awal klik disini!




Jam belum menunjukkan pukul sebelas malam. Koridor lantai tiga sepi. Ada penghuni kost yang sudah tidur, ada juga yang masih berkumpul di ruang bawah, menonton televisi sama-sama sambil bersosialisasi. Sam memutuskan segera mandi untuk menyegarkan dirinya, dan bergabung dengan penghuni lainnya yang masih mengobrol-ngobrol di bawah.

Bla-bla-bla-bla

Saat sedang asyik menyabuni tubuhnya, Sam mendengar kamar mandi di sebelahnya juga dipakai mandi. Seseorang mengguyurkan air begitu banyaknya. Sam merasa bingung. Ia sama sekali tak mendengar ada yang masuk ke dalam kamar mandi di sebelahnya itu. Ah, mungkin suaranya tersamar oleh ributnya suara guyuran air di kamar mandi Sam sendiri.

Saat Sam mengeringkan tubuhnya dengan handuk, suara guyuran air di kamar mandi sebelahnya masih terdengar tanpa henti. Sam menyunggingkan senyum geli. Heran. Itu mandi atau nguras bak sih?

Bla-bla-bla-bla

Ternyata, pintu kamar mandi di sebelahnya terbuka lebar. Suara guyuran air sudah berhenti sama sekali. Sam mengerutkan dahinya, bingung. Hati-hati, Sam melangkahkan kakinya melewati pintu kamar mandi yang terbuka itu. Ia takut, jangan-jangan ada penghuni kost lain yang nekat mandi denga pintu terbuka.

Dengan agak penasaran dan perlahan-lahan, Sam melewati kamar mandi yang terbuka itu, dan melirik ke dalamnya.

Tidak ada orang sama sekali. Bak air terisi penuh, dan air menggenang dengan tenang. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi itu baru saja digunakan.

Bla-bla-bla-bla
***
Bla-bla-bla-bla

“...adiknya itu meninggal waktu umur tujuh tahun. Dia sendiri waktu itu umur sembilan. Mereka dulunya akrab banget. Kalo main berdua tuh akur banget, deh. Anehnya, pas adiknya meninggal, nih anak ngga pernah sedih, ngga pernah nagis, ngga pernah nanya. Kayak ngga terjadi apa-apa, gitu.”

Bla-bla-bla-bla

“Terus, temen gue –nyokap si anak ini– suatu hari nanya,” lanjut lelaki itu. “Dia nanya kenapa anak ini ngga pernah kangen sama adiknya. Terus, dia Cuma ngejawab tenang ke nyokapnya, ‘Kenapa mesti kangen?’ Temen gue tambah bingung, dong. Dia jelasin akhirnya, ‘Kan adik kamu udah ngga sama-sama kita lagi.’ Eh anak itu geleng-geleng kepala, dan bilang, ‘Dede ngga pergi, Ma’ ....”

Bla-bla-bla-bla

“Temen gue ini nangis ngedenger anaknya ngomong gitu, terus bilang, ‘Dede kamu udah pergi.’ Tau ngga si anak ini terus ngomong apa? Sambil nunjuk ke nyokapnya, dia bialang, ‘Tuh...tiap hari saya liat Mama gendong Dede!’ ....”

Bla-bla-bla-bla

Kamar Dinda memang terasa jauh lebih sempit dari kamar Sam. Apalagi barang-barang Dinda jauh lebih banyak. Kalung, gelang, dan berbagai perhiasan manik-mank yang warna-warni berserakan di mana-mana –ada yang jadi hiasan ruangan itu, tirai pembatas, atu semata-mata barang dagangan.

“Kebanyakan gue ambil dari Bali, sih. Dari Celak langsung. Murah-murah banget. Lu pilih aja tuh suka yang mana. Beli tiga dapet empat.”Dinda menjelaskan.

Sam lebih memerhatikan cermin antik yang ada di kamar itu. Sama persis yang ada di kamarnya. “Lu dapet juga, nih?”

Dinda baru sadar bahwa perhatian Sam lebih tertuju pada cermin besar yang sudah ia hiasi dengan banyak kalung manik-manik agar tampak lebih manis. “Iya. Keren, ya. Kata Bu Yanti, cuma ada empat, tuh. Gue cuma tau di sini sama di kamar Ratih aja.”

“Yang satu di kamar gue, sih. Satu lagi di lantai dua, kali ya?”

Dinda tersenym geli. “Lu penasaran, ya, sama isi lantai dua?”

Bla-bla-bla-bla
***

Malam itu tidak ada mimpi aneh yang menghantui tidur Sam. Mungkinkah itu sebuah pertanda baik bagi Sam? Whatever! Yang jelas, Sam bangun dengan penuh semangat.

Sam menuruni tangga dengan cepat. Siang itu ia mengenakan rok panjang gaya gypsi kesukaannya yang berwarna merah tanah dengan motif bunga-bunga kecil. Atasannya warna krem tanpa lengan, membuat kalung yang baru diberikan Dinda kemarin malam tampak mencolok. Sam semakin menyukai kalung itu saja.
Pagi ini Sam hendak membayar uang kost bulan pertamanya ke Bu Yanti. Ia mencari perempuan separuh baya itu di dapur.

“Ini juga kantor Ndoro Ayu Sukma kalau ia lagi berkunjung ke sini,” ujar Bu Yanti mengajak Sam masuk ke ruang tempat ia biasa mengurus administrasi rumah kost itu. “Kadang-kadang dia suka bekerja di sini karena jauh dari keramaian,” lanjutnya. Perempuan itu kelihatnya senang sekali menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah kuno ini. Sam juga baru memerhatikan bahwa Bu Yanti selalu menyebut nama pemilik rumah dengan penuh rasa hormat.

Masuk ke ruangan itu, Sam dan Bu Yanti melihat sebuah kursi kosong menghadap ke pojok. “Aduh, si Mbok ini ya! Bandel banget dibilangin dari dulu! MBOOOK! MBOOOK! Ini kursi kosong kenapa ngadep ke pojok ‘gini, sih?” seru Bu Yanti. Sambil berteriak memanggi si Mbok, Bu Yanti buru-buru mengangkat sendiri kursi di pojokan ruangan itu, dan meletakkannya di hadapan meja kerjanya. “Kamu juga inget ya, Sam. Jangan sesekali ngadepin kursi kosong ke pojok ruangan! Apalagi di rumah ini! Pamali!”

Karena menganggap peraturan yang diucapkan Bu Yanti aneh dan tak masuk akal, Sam tak terlalu mengindahkannya. Dengan santai, Sam bergerak menuju kursi yang sekarang sudah berada kembali di hadapan meja Bu Yanti itu. Ia baru saja hendak menduduki kursi itu ketika Bu Yanti berseru panik. “Eh! Jangan didudukin dulu! Haduuuh, kamu ini!”

Sam jadi serba salah. Ia tak paham maksud Bu Yanti. Duuuh, mending gue buruan cabut, deh. Segera Sam menyelesaikan urusannya, lantas buru-buru kabur sebelum salah gerak lagi!

Sial!

Begitu keluar dari rumah kost, Sam baru menyadari bahwa ia lupa mengaitkan kunci pintu gerbang rumah ke gantungan kuncinya. Berabe nih! Bisa-bisa gue terkunci di luar rumah kalau pulang kuliah malam nanti! Segera ia bergegas kembali ke kamarnya. Aduhh, terlambat lagi deh makan siang bareng Agung, rutuknya lagi dalam hati.

Bla-bla-bla-bla

Sial! Gue taruh di mana sih?

Ia melongok ke kolong meja. Sebuah benda berkilat tergeletak di salah satu sudutnya. Sam buru-buru jongkok dan merangkak untuk mengambil anak kunci itu. Ia mendorong sembarangan kursi yang menghalanginya. Begitu anak kunci itu berhasil di raih, Sam segera membawanya pergi berlari-lari keluar dari kamarnya.

Sam tidak sadar bahwa ia sudah meninggalkan kursi di kamarnya dalam keadaan menghadap ke sudut ruangan.

(To be continued » next month)

Firdi Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar