« SEBELUMNYA
....
Tumben, bergadang di malam ini perutku amat keroncongan. Lapar. Tak ada makanan di rumah. Sempat terpikir untuk ‘makan angin’ saja. Tapi sepertinya nasib baik berpihak kepadaku. Suara mangkok yang dipukul oleh tukang bakso menggema di telinga saat waktu menunjukkan lewat tengah malam. Refleks, aku bangkit dari sofa segera ke luar rumah. Namun, kosong. Tidak ada tanda-tanda jalanan baru saja dilewati siapa pun. Aku mengernyitkan dahi dan kemudian kembali masuk ke rumah.
....
Tumben, bergadang di malam ini perutku amat keroncongan. Lapar. Tak ada makanan di rumah. Sempat terpikir untuk ‘makan angin’ saja. Tapi sepertinya nasib baik berpihak kepadaku. Suara mangkok yang dipukul oleh tukang bakso menggema di telinga saat waktu menunjukkan lewat tengah malam. Refleks, aku bangkit dari sofa segera ke luar rumah. Namun, kosong. Tidak ada tanda-tanda jalanan baru saja dilewati siapa pun. Aku mengernyitkan dahi dan kemudian kembali masuk ke rumah.
Masih
heran dengan kejadian yang tadi. Aku berusaha untuk berprasangka baik, yah
meskipun itu cukup sulit dijelaskan nalar. Padahal tadi suara si tukang bakso
tepat berada di depan rumah menuju ke barat yang jalanan masih panjang tanpa
ada belokan.
“SATEEEE...
SATE SATEEE...”
Suara
perempuan setengah baya tertangkap meneriakan barang dagangannya. Siluet
tubuhnya tergambar di gorden yang menutupi jendela rumah, ia membawa baskom
besar di atas kepalanya. Asap pembakaran arang menyusup dari sela-sela
ventilasi serta membawa aroma daging yang dibakar. Sebenarnya aku tidak terlalu
suka makan sate, tapi daripada aku mati konyol karena kelaparan lebih baik aku
beli saja.
Untuk
kedua kalinya, aku kehilangan pedagang keliling yang melewati jalanan di muka
rumah.
“Mungkin ada yang memanggilnya,” pikirku
positif
Aku
mencoba menunggu pedagang sate itu mungkin saja keluar dari salah satu rumah
tetanggaku. Seraya memainkan HP, aku terus mengawasi setiap rumah namun hampir
setengah jam tidak ada tanda-tanda pedagang sate akan keluar.
“Ini ada apa sih!” seruku kesal. Dua kali
aku dipermainkan.
Karena
sangat kesal, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat.
Pupus sudah keinginanku untuk mengisi perut yang sedikit manja di tengah malam
begini. Sudahlah, aku minum saja, lagipula itu cukup mengenyangkan.
Acara yang ditunggu sejak beberapa jam yang lalu sudah mulai. Mata cukup menikmati acara meski semakin lama kelopak mata terasa memberat. Antara sadar dan tidak, mataku telah tertutup sementara daun telinga masih berfungsi baik mendengarkan segala aktivitas di sekitar.
Bumi
terasa bergetar saat sepintas kudengar suara kaki kuda dari kejauhan sedang
berlari cukup kencang. Aku kaget sehingga mata kembali terbuka lebar dan aku
berusaha memulihkan kesadaran yang sempat hilang karena ketiduran. Kufokuskan
pendengaran hingga suara itu terdengar lagi semakin keras.
“Kayak suara kaki kuda?” tanyaku pada
diri sendiri.
Suasana
malam itu semakin tak bersahabat. Seiring dengan suara itu, angin dingin
bertiup menusuk kulit. Aku masih melamun memikirkan suara itu. Baru kali ini
ada kuda lewat di tengah malam gini, hingga ternyata ada suara lain yang
mengiringi derap kaki kuda itu: suara lonceng.
Aku
sedikit memincingkan mata menerka. Mungkinkah itu cidomo –kendaraan sejenis delman– ? Tapi apa semalam ini cidomo
masih berkeliaran? Setahu aku, tidak.
Dengan
keberanian, aku menaiki bagian atas sandaran sofa. Aku berusaha mengintip dari
sela-sela gorden yang terpasang di jendela atas, memudahkanku untuk melihat ke
arah jalan raya. Untung saja lampu jalanan cukup menerangi sekitarnya sehingga
aku mampu melihat jalanan, di sana baru saja lewat seekor kuda putih bersih.
Kuda yang amat cantik bagiku.
Kuda
itu berhenti seraya memakan rumput liar yang tumbuh di beberapa sudut trotoar.
Tidak ada tanda-tanda kuda itu sedang bersama pemiliknya, kuda itu sendirian.
Terkadang aku melihat kepala kuda itu serupa manusia berwujud perempuan renta.
Aku tak habis pikir ketika kuda yang tadinya membelakangiku diam membeku sekian
lama kemudian menoleh seolah mengetahui keberadaanku. Aku langsung cepat-cepat
turun dari atas sandaran sofa lalu duduk sambil memeluk kedua lututku.
Aku
melamun..
Ingatan
tentang film yang menggambarkan kuntilanak adalah makhluk setengah kuda
setengah manusia mulai mengerubungi pikiranku. Apakah ini suatu halusinasiku?
Aku bisa menjamin ini bukan halusinasi atau sejenisnya. Aku bisa membedakan
kedua hal itu karena sudah terbiasa. Berarti ini fakta.
Jantung
mulai berdetak tidak stabil. Detakkannya semakin memburu ketika sekelebat
bayangan putih bergerak bagaikan kilat menembus dinding rumah. Aku benar-benar
tidak dapat memastikan apa itu. Bayangan itu terlalu cepat. Tiba-tiba di plafon
ada sebuah tangan kanan dengan kuku hitam panjang berurat mengerikan seperti
akan menyerangku. Tanpa aba-aba aku langsung menghindar dan mematikan TV lalu
memasuki kamar lantas menenggelamkan wajah di bantal dan menutup sekujur
badanku dengan sarung.
Saat
itu aku belum bisa memejamkan indera penglihatan lagi, padahal sebelumnya aku
sangat mengantuk. Aku masih dalam posisi ketakutan, ditambah sarungku terasa
ditarik ke bawah.
Napas
sudah tidak karuan, sesak. Setengah badanku kini tidak tertutup sarung, hanya
dada ke bawah saja yang masih menempel dengannya. Meski kelopak mata tertutup,
namun bola mata tidak bisa berbohong karena terus aktif bergerak. Dan suara
orang berjalan di dekatku begitu jelas, langkah kakinya seperti suara kaki
kuda.
Mbah
tidak berkutik sama sekali walaupun suara kaki kuda itu cukup mengganggu. Antara
mbah tidak mendengarnya atau mungkin hanya aku yang mendengarnya.
Keringat
dingin keluar dari pori-pori kening, lengan, telapak tangan dan telapak kakiku.
Perlahan, kucoba mengeluarkan wajahku dari tempat persembunyiannya. Saat sebelah
mataku sudah dapat dibuka, aku tidak menemukan apa pun. Tetapi saat aku memerhatikan
lantai, aku melihat lantai tampak lebih dekil, dan jika diperhatikan lebih jauh
lagi tampak seperti jejak kaki kuda.
....
SAMBUNGAN »
....
SAMBUNGAN »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar