Pages

Novel - BAB 5 (Cuplikan)

« SEBELUMNYA 

....

Tumben, bergadang di malam ini perutku amat keroncongan. Lapar. Tak ada makanan di rumah. Sempat terpikir untuk ‘makan angin’ saja. Tapi sepertinya nasib baik berpihak kepadaku. Suara mangkok yang dipukul oleh tukang bakso menggema di telinga saat waktu menunjukkan lewat tengah malam. Refleks, aku bangkit dari sofa segera ke luar rumah. Namun, kosong. Tidak ada tanda-tanda jalanan baru saja dilewati siapa pun. Aku mengernyitkan dahi dan kemudian kembali masuk ke rumah.


Masih heran dengan kejadian yang tadi. Aku berusaha untuk berprasangka baik, yah meskipun itu cukup sulit dijelaskan nalar. Padahal tadi suara si tukang bakso tepat berada di depan rumah menuju ke barat yang jalanan masih panjang tanpa ada belokan.

“SATEEEE... SATE SATEEE...”

Suara perempuan setengah baya tertangkap meneriakan barang dagangannya. Siluet tubuhnya tergambar di gorden yang menutupi jendela rumah, ia membawa baskom besar di atas kepalanya. Asap pembakaran arang menyusup dari sela-sela ventilasi serta membawa aroma daging yang dibakar. Sebenarnya aku tidak terlalu suka makan sate, tapi daripada aku mati konyol karena kelaparan lebih baik aku beli saja.


Untuk kedua kalinya, aku kehilangan pedagang keliling yang melewati jalanan di muka rumah.

Mungkin ada yang memanggilnya,” pikirku positif

Aku mencoba menunggu pedagang sate itu mungkin saja keluar dari salah satu rumah tetanggaku. Seraya memainkan HP, aku terus mengawasi setiap rumah namun hampir setengah jam tidak ada tanda-tanda pedagang sate akan keluar.

Ini ada apa sih!” seruku kesal. Dua kali aku dipermainkan.

Karena sangat kesal, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Pupus sudah keinginanku untuk mengisi perut yang sedikit manja di tengah malam begini. Sudahlah, aku minum saja, lagipula itu cukup mengenyangkan.


Acara yang ditunggu sejak beberapa jam yang lalu sudah mulai. Mata cukup menikmati acara meski semakin lama kelopak mata terasa memberat. Antara sadar dan tidak, mataku telah tertutup sementara daun telinga masih berfungsi baik mendengarkan segala aktivitas di sekitar.


Bumi terasa bergetar saat sepintas kudengar suara kaki kuda dari kejauhan sedang berlari cukup kencang. Aku kaget sehingga mata kembali terbuka lebar dan aku berusaha memulihkan kesadaran yang sempat hilang karena ketiduran. Kufokuskan pendengaran hingga suara itu terdengar lagi semakin keras.

Kayak suara kaki kuda?” tanyaku pada diri sendiri.


Suasana malam itu semakin tak bersahabat. Seiring dengan suara itu, angin dingin bertiup menusuk kulit. Aku masih melamun memikirkan suara itu. Baru kali ini ada kuda lewat di tengah malam gini, hingga ternyata ada suara lain yang mengiringi derap kaki kuda itu: suara lonceng.


Aku sedikit memincingkan mata menerka. Mungkinkah itu cidomo –kendaraan sejenis delman– ? Tapi apa semalam ini cidomo masih berkeliaran? Setahu aku, tidak.


Dengan keberanian, aku menaiki bagian atas sandaran sofa. Aku berusaha mengintip dari sela-sela gorden yang terpasang di jendela atas, memudahkanku untuk melihat ke arah jalan raya. Untung saja lampu jalanan cukup menerangi sekitarnya sehingga aku mampu melihat jalanan, di sana baru saja lewat seekor kuda putih bersih. Kuda yang amat cantik bagiku.


Kuda itu berhenti seraya memakan rumput liar yang tumbuh di beberapa sudut trotoar. Tidak ada tanda-tanda kuda itu sedang bersama pemiliknya, kuda itu sendirian. Terkadang aku melihat kepala kuda itu serupa manusia berwujud perempuan renta. Aku tak habis pikir ketika kuda yang tadinya membelakangiku diam membeku sekian lama kemudian menoleh seolah mengetahui keberadaanku. Aku langsung cepat-cepat turun dari atas sandaran sofa lalu duduk sambil memeluk kedua lututku.


Aku melamun..


Ingatan tentang film yang menggambarkan kuntilanak adalah makhluk setengah kuda setengah manusia mulai mengerubungi pikiranku. Apakah ini suatu halusinasiku? Aku bisa menjamin ini bukan halusinasi atau sejenisnya. Aku bisa membedakan kedua hal itu karena sudah terbiasa. Berarti ini fakta.


Jantung mulai berdetak tidak stabil. Detakkannya semakin memburu ketika sekelebat bayangan putih bergerak bagaikan kilat menembus dinding rumah. Aku benar-benar tidak dapat memastikan apa itu. Bayangan itu terlalu cepat. Tiba-tiba di plafon ada sebuah tangan kanan dengan kuku hitam panjang berurat mengerikan seperti akan menyerangku. Tanpa aba-aba aku langsung menghindar dan mematikan TV lalu memasuki kamar lantas menenggelamkan wajah di bantal dan menutup sekujur badanku dengan sarung.


Saat itu aku belum bisa memejamkan indera penglihatan lagi, padahal sebelumnya aku sangat mengantuk. Aku masih dalam posisi ketakutan, ditambah sarungku terasa ditarik ke bawah.


Napas sudah tidak karuan, sesak. Setengah badanku kini tidak tertutup sarung, hanya dada ke bawah saja yang masih menempel dengannya. Meski kelopak mata tertutup, namun bola mata tidak bisa berbohong karena terus aktif bergerak. Dan suara orang berjalan di dekatku begitu jelas, langkah kakinya seperti suara kaki kuda.


Mbah tidak berkutik sama sekali walaupun suara kaki kuda itu cukup mengganggu. Antara mbah tidak mendengarnya atau mungkin hanya aku yang mendengarnya.



Keringat dingin keluar dari pori-pori kening, lengan, telapak tangan dan telapak kakiku. Perlahan, kucoba mengeluarkan wajahku dari tempat persembunyiannya. Saat sebelah mataku sudah dapat dibuka, aku tidak menemukan apa pun. Tetapi saat aku memerhatikan lantai, aku melihat lantai tampak lebih dekil, dan jika diperhatikan lebih jauh lagi tampak seperti jejak kaki kuda.

....

SAMBUNGAN »

Firdi Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar