Pages

[REVIEW] GUNDALA: GERBANG SEJARAH BARU PERFILMAN TANAH AIR



Sejarah perfilman Indonesia terkesan sudah berubah sejak Gundala lahir di layar lebar 29 Agustus 2019 lalu. Gundala adalah gerbang untuk memulai rangkaian jagat film superhero Indonesia. Film ini digarap dengan begitu serius sehingga presentasinya tidak terlalu terasa corny atau nonsense.  Gundala menghadirkan sebuah origin story superhero lokal yang dalam hal ini disebut sebagai patriot.


Film Gundala menceritakan tentang perjalanan hidup seorang Sancaka (Abimana Aryasatya) yang memiliki masa lalu kelam. Dia harus bertahan di kerasnya jalanan setelah Bapaknya tewas dalam demonstrasi dan Ibunya pergi tanpa pulang. Berkat sebuah petuah yang ia dapatkan perihal untuk tidak ikut mencampuri urusan orang lain, pada akhirnya Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) berhasil tumbuh menjadi security yang tidak banyak omong, skeptis dan apatis. Semuanya berbeda ketika dewasa ini, perkataan rekan kerjanya di sebuah pabrik surat kabar mengubah pola pikir Sancaka agar menjadi sosok yang memiliki kepedulian antarsesama manusia.

Sejak kecil Sancaka sudah memiliki trauma terhadap petir. Dia menganggap petir selalu mengincarnya. Ketakutan itu masih menghantuinya hingga dewasa. Namun siapa sangka, petir tersebut tidak membuat Sancaka mati, justru mengubah tubuhnya semakin kuat. Lantas, bisakah Sancaka mengendalikan petir tersebut?


THIS IS A JAGOAN MOVIE, KATANYA


Joko Anwar sebagai salah satu jajaran sutradara yang memiliki jejak karya yang selalu memuaskan kali ini harus kembali berbangga diri. Sebab Gundala bisa dibilang cukup berhasil membuat takjub setiap pasang mata penonton Indonesia yang sudah rindu hal baru dari perfilman tanah air. Di film ini, Joko Anwar berusaha mengarahkan sudut pandang penonton agar tidak membandingkan Gundala dengan tokoh superhero dari Marvel atau DC. Gundala memiliki karakteristik yang dibangun secara lain.

Gundala memang bukanlah film pahlawan super yang menyajikan banyak fantasi. Tone ceritanya justru dibuat lebih depressing dan juga lebih realistis. Sehingga film garapan sutradara Pengabdi Setan (2017) ini ditampilkan penuh konflik kemanusiaan yang related dengan penampakan saat ini.

Namun sayangnya, durasi panjang seperti tidak cukup untuk menceritakan pencarian jati diri seorang Sancaka yang ditakdirkan menjadi pahlawan berupa ‘a son of lightning’ alias Putra Petir. Plot film Gundala memiliki tempo yang sedikit terlalu cepat sehingga pengenalan masing-masing tokohnya masih bias. Apalagi di sini, amat banyak sosok yang menjadi rival seorang Sancaka yang sebenarnya memiliki latar belakang menarik juga.

HADIR DENGAN MULTIGENRE


Gundala tidak hanya menyajikan adegan baku hantam layaknya film superhero-laga kebanyakan. Di beberapa bagian, Gundala memang acap menampilkan suasana creepy. Lalu di bagian lain, Gundala malah memunculkan gelak tawa.

Sebagian kecilnya kadang kala, latar tempat dalam film dibuat sepi dan remang. Hal ini menciptakan suasana yang mencekam dan seram. Kemudian aksi gila anak-anak yang telah diorganisir Pengkor menginterpretasikan bahwa Gundala terkesan sadis. Dan hubungan Sancaka dengan Wulan (Tara Basro) memiliki drama tersendiri. Terakhir adalah tingkah laku pemain yang begitu konyol tak jarang menggelitik perut.

Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa Gundala merupakan film multigenre yang menyisipkan horror, thriller, drama, dan komedi. Semuanya berhasil menambah variasi dalam film ini tanpa harus merusak genre utamanya.

SINEMATOGRAFI YANG CIAMIK


Jika diperhatikan dari tone film Gundala, kita bisa merasakan bahwa situasi dan kondisi kota saat itu sangat berantakan. Lingkungan dilukiskan dalam keadaan panas dan ganas. Dalam film ini, Ical Tanjung lagi-lagi sukses mengeksekusi teknik pengambilan gambar yang memuat sinematografi yang cantik dan menarik. Maestro yang satu ini memang sulit gagal dalam menghadirkan visual yang mampu bikin eyegasm.

Namun di samping itu, hal ganjil justru dapat kita rasakan. Bagaimana bisa meskipun hujan sering turun tetapi suasana masih begitu gersang, juga berdebu? Satu lagi yang sedikit membingungkan adalah terkait dengan latar waktu film ini sebenarnya kapan? Kalau diperhatikan secara jeli memang bisa tertebak melalui plat kendaraan yang sering di-close-up. Tapi yang menjadi masalah yaitu properti yang digunakan seolah campur aduk. Terlepas dari segala penyimpangan ini, sinematografi Gundala masih bisa dinikmati dan tetap memukau.

KLIMAKS DAN ANTIKLIMAKS


Konflik sudah ada sejak film mulai memperkenalkan Sancaka kecil. Perjalanan seorang Sancaka kecil yang penuh emosional benar-benar mengantar jiwa merasa prihatin. Miris melihat perjuangannya dikelilingi berbagai masalah. Bukannya semakin kompleks, tensi emosi penonton terkesan sedikit diturunkan akibat jalan hidup Sancaka dewasa yang terasa lebih datar walaupun sebenarnya perkara kemanusiaan masih ada.

Bahkan pemantik konflik yang seharusnya dapat dijadikan pondasi justru berbuntut melemahkan alur cerita. Sancaka dan Pengkor (Bront Palarae) hadir semacam dua orang asing yang saling bersinggungan. Belum diceritakan bagaimana seorang Pengkor bisa begitu kenal dengan Sancaka, sebaliknya Sancaka malah terlihat acuh.

Film Gundala rupanya terlalu memikirkan rencana ke depan sehingga lupa bagian penting yang sebaiknya lebih dikupas dalam pembukaan jagat sinema BumiLangit ini. Gundala terlalu dini mengeluarkan musuh-musuh Sancaka yang merupakan anak-anak Pengkor.

Akan tetapi usaha film ini yang memunculkan sekilas sosok Sri Asih (Pevita Pearce) di penghujung dan post-credit film, sukses menumbuhkan rasa penasaran soal jagoan yang memiliki paras jelita itu.

AMANAT DI BALIK DIALOG PADAT


Menonton karya Joko Anwar, kita kerap dituntut menjadi orang yang cekatan menemukan setiap teka-teki film. Kalau tidak, agak sulit untuk mencerna maksud dari film itu sendiri. Selain dari visual, detail film juga dapat ditemukan dalam audio berupa monolog/dialog pemainnya.

Sama halnya dengan film Gundala, percaya atau tidak Sancaka sudah bertemu dengan Ki Wilawuk (Sujiwo Tejo) dalam sebuah mimpi. Setting waktu juga dijelaskan dalam detail yang tak terduga. Begitu pula dengan pengenalan sosok Awang (Faris Fadjar) yang menjadi Egg Easter di film ini.

Namun, yang memancing perhatian didapat dari dialog-dialog yang memiliki makna tersembunyi. Terlebih perihal dialog-dialog yang dikeluarkan oleh Ghazul (Ario Bayu) yang seakan-akan tahu banyak hal. Dialog juga dibuat begitu padat dan sayang untuk dilewatkan, karena mempunyai berbagai macam nasihat meski harus dicerna terlebih dahulu supaya tidak salah memilih.

SINGKATNYA …


Overall, saya yang not expected too much merasa Gundala tetap telah memberikan banyak kejutan bagi pecinta film lokal. Gundala takes cinemas by storm. Kehadiran banyak bintang besar di film Gundala atau secara umum di BumiLangit Cinematic Universe membuat proyek ini begitu menjanjikan. Film ini membawa perfilman Indonesia serasa naik kelas yang memberikan a fulfilling cinematic experience.

Sinematografinya really epic plus scoring that matches each scene. CGI film Gundala on point, jadi meski dibuat sederhana tapi kehadirannya tidak murahan. Thus, Gundala is the beginning of the history of cinema which awaiting its rise.

Hanya saja, memang tidak ada yang sempurna, pasti ada kekurangan di setiap kelebihan, termasuk dalam film Gundala. Storytelling-nya masih belum fokus dan membentuk plot hole di beberapa bagian. Hal ini membuat cerita Gundala terasa melempem. Atau mungkin langkah ini adalah teknik marketing yang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di film Gundala ini akan muncul di kelanjutan filmnya.

Film ini sangat layak untuk disaksikan. Sebagai bukti, mana mungkin saya sampai menontonnya sebanyak dua kali di hari pertama dan kedua. Ulasan ini jangan dijadikan patokan untuk memutuskan menonton atau tidak. Ingat, beda orang beda juga pemikirannya. Dan saya akan tetap memberikan nilai 8.8/10 untuk GUNDALA. So, you guys must watch this movie very sooner!.


Spoiler Alert!




Kelam Malam akan didendangkan dalam film ini sebagai Joko Anwar Universe.

Firdi Ramadhan

1 komentar:

  1. Secara keseluruhan saya sependapat dng ulasan ini. Mulai dari jalan cerita, sinematografi, sampe kekurang yg ada di film ini. Cuma bagi saya nilainya bisa dapet 9 (subjektifitas).

    Moga sih film di jagat sinema bumilangit bisa melebihi atau paling tidak sama bagusnya dng Gundala ini. Soalnya, klo film² selanjutnya malah buruk, buat ngangkat jagat ini bakal berat ke depannya.

    BalasHapus