Pages

SETIDAKNYA KAMU PUNYA NYALI MESKI BERUJUNG PADA RASA KECEWA



Setelah menyuarakan rasa. Aku mengerti kamu sudah memilih langkah bersimpang untuk mencari gerimis yang lebih sejuk. Sedang aku menuju tanah lapang berharap hatiku bisa selapangnya. Aku bukan tujuanmu. Barangkali denganmu hanyalah angan yang tak sempat untuk disentuh, terlalu lama melayang hingga akhirnya jatuh. Kamu sama sekali malas untuk sekadar menitipkan hati. Ini semua terlanjur berakhir pada kecewa, yang memaksaku untuk lupa. Bagiku, melupakanmu bagaikan jalan panjang berliku yang penuh lubang. Aku harus menempuhnya sendiri, aku harus menjaga setiap langkah yang kuambil supaya tidak terjerembab dan tersesat.

Bekal terbaik dari patah hati adalah mengikhlaskan diri dan orang lain perihal jodoh dan garis hidup.

Padahal perkenalan kita masih dangkal, tapi sudah diliputi ketidakharmonisan. Ini salahku. Aku terlalu terburu-buru dalam menekanmu untuk segera berpendapat. Dampaknya seakan setiap argumen itu sukses mematahkan mimpiku. Impian bersamamu telah sirna oleh badai yang aku buat sendiri. Ruang kita semakin berjarak. Maka dari itu aku tahu diri. Aku amat takut menatap matamu lagi seperti kemarin. Meski tak sanggup, rupanya menghindar cukup baik. Semata, agar kehidupanmu tidak lagi diusik oleh cinta yang masih tersimpan untukmu ini.

Memang di satu sisi aku ingin menjauh demi membuang ingat tentangmu, namun di sisi yang lain hati ini enggan untuk beranjak pergi. Aku tidak bisa berbohong bahwa aku masih menyayangimu dengan sebenar-benarnya. Bahkan aku masih tidak sempat berpikir soal mengapa pesan berupa kata “hai” saja mampu mengubahku menjadi dua pribadi berbeda yang menimbulkan konflik batin. Boleh jadi, pesanku tergolong kalimat basa-basi yang dengan gampangnya diacuhkan. Padahal aku perlu banyak detik untuk bergumul dengan perasaan sendiri: apakah lanjut dikirim atau dihapus. Ini cuma alibi supaya aku merasa kamu masih ada untuk jiwaku yang sepi.

Berbanding terbalik dengan pesanmu. Kadang aku iri karena kamu dapat membuat orang sepertiku mencair hanya dengan kata singkat. Kemudian saat itu aku bisa bergejolak mencari tahu cara yang mampu membuatmu bertahan dalam lingkaran obrolan tersebut. Entah aku harus berperan sebagai orang yang kerap meminta laporan mengenai kabarmu, kesibukanmu, dan semua hal yang ada di keseharianmu. Terkesan klise, memang.

Kamu mungkin tak pernah tahu bahwa setiap hari pikiran perihal dirimu selalu muncul dalam imajinasiku. Memikirkanmu sudah menjadi candu, aku tidak ambil pusing bila suatu saat kamu memikirkanku cumalah canda. Yang terpenting di setiap waktu, aku pasti selalu menyediakan momen di mana aku harus melihat aktivitasmu walau jarang kutemukan. Meski begitu, aku membenci diriku jika tiap melihat seluruh aktivitasmu masih saja menyisakan benih rasa yang belum hilang. Mungkin aku terlalu naif, terlalu munafik untuk memungkiri setiap perasaanku.

Maaf atas ego yang bersikeras mencintaimu ini. Aku terlalu menggantung semuanya. Aku hanya ingin kau tahu cinta bisa jatuh di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Lalu lewat pertemuan itu, malam silam, dan kepadamu … aku jatuh cinta. Sehingga aku sulit menghapusmu. Membuka lembaran baru itu tidak mudah, kamu sudah terlanjur aku pilih.

Sesungguhnya aku lelah diterkam keadaan. Aku ingin berdamai, berdamai dengan diriku. Aku harus membawa diriku kembali pada titik awal di mana rasa itu belum ada. Sebab sekarang aku sudah tahu bahwa kamu tidak menunjukku. Iya, mau dikata apapun, jejak kita tidak akan pernah sama. Membuat di kondisi begini, aku tertatih, aku seolah hilang arah.

Kecewa dari suatu keberanian lebih baik ketimbang harus terjebak dalam radius perasaan yang belum sempat tersampaikan.

Sebelum mengusaikan tulisan ini, aku ingin bercerita sedikit mengenai pertemuan kita beberapa waktu lalu. Saat itu aku mengutuk diriku karena tidak teliti dalam membaca pesanmu. Hal yang membuatku terlambat menemuimu, walau hanya sekitar 9-an menit. Aku betul-betul sulit memaafkan diriku sendiri, bahkan kejadian itu cukup mampu menghempaskanku ke jurang yang amat dalam.

Detailnya, padahal aku sudah siap untuk berangkat. Hanya saja aku dibuat ragu oleh keteledoranku. Pesanmu terlewat untuk kubaca. Pesan berisi waktu pertemuan. Aku seperti acuh, malah duduk santai menunggu kabar darimu. Coba saja kamu tidak bilang “8 to 14”, mungkin aku bakal semakin berlama-lama di rumah. Itu pun kepekaanku seakan lenyap, aku masih belum terlalu paham maksud kalimat itu sampai dirimu mengingatkanku dengan lebih pasti.

Seketika aku selayaknya orang yang baru bangkit dari kematian. Aku kaget bukan main. Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung bergegas mencarimu. Berharap detik tidak berlalu dengan cepat agar aku bisa mengejar dan tepat waktu. Akan tetapi keinginanku pupus, aku telat. Sekian menit yang berharga dengan mudahnya kubuang percuma. Aku sungguh menyesal.

Kamu menyambutku dengan senyum yang tetap istimewa. Kamu tidak begitu mempermasalahkan salah yang aku perbuat. Kita tetap hangat kala itu. Kemudian kita duduk di kursi panjang lengkap dengan mejanya. Aku mengeluarkan laptop untuk melanjutkan sesuatu yang bisa kusebut sebagai tanggung jawab. Percakapan yang terjadi hanya sedikit, sebab pada akhirnya kita sama-sama sibuk sendiri setelah kamu mengeluarkan laptop juga. Sesekali aku mencuri pandang.

Tidak terasa, waktu berjalan memaksa kita untuk berpisah lagi. Aku tidak mengerti mengapa setiap bersamamu waktu seolah menjadi lebih ringkas, sementara saat jauh darimu waktu menjadi lebih panjang. Buah dari itu, aku merindukanmu.

Jika cinta hanya menjadi semoga, jangan sampai ia membawa pada kegiatan pelarian yang salah.

Dan kini kubiarkan saja semuanya berjalan sesuai masanya. Semoga saja itu bukan pertemuan terakhir kita. Aku masih menyimpan harap untuk dapat berjumpa lagi meski saat ini kutahu semua sudah berbeda. Terlepas dari itu, aku berusaha menyangga perasaan ini agar tak berujung salah. Mencoba membunuh harap.

Terkadang kuanggap diriku serupa sebatang lilin di atas kue ulang tahun. Kau padamkan aku, lalu semua raga bertepuk tangan gembira. Aku hancur.

Firdi Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar