Malam itu terasa hampa, kepakan kabut tebal membawa bintang-bintang menuju keputus-asaan dan bulan juga melarikan diri kehilangan daya. Langit kusam memuntahkan titik-titik air yang telah lama ia bendung. Inilah saatnya. Cuaca hari ini membius jiwa yang semakin ketakutan. Sunyi dan sepi.
Gerimis tak peduli, ia terus membasahi seluruh isi bumi. Menebarkan aroma tanah menuju angkasa. Sejumput raga berusaha untuk tetap menikmati suasana yang kian memojokkan. Orang-orang seolah sama sekali tak mengenal siapa diriku, bahkan oleh diriku sendiri. Hati telah ditumbuhi parasit, membuatku tak ingin diganggu. Ingin tenang, walau nurani sayup-sayup berseru menyuruhku untuk melupakan segalanya.
Jiwaku jatuh terjerembab dalam jurang tak berujung. Di dalamnya jutaan makhluk aneh mengepungku, dan keadaan yang semakin memburuk. Jiwaku memberontak mau kembali ke dalam raga. Berhasil dan aku merasakan getaran hebat. Aku terbangun.
Ketika kelopak mata membuka, kulihat kilatan petir dari ventilasi memberikan sedikit penerangan di malam yang dingin. Aku tidur kembali, tak ingin kekurangan semangat di hari esok yang merupakan titik terakhir perjuanganku di Sekolah Dasar tercinta.
Pagi menjelang..
“Sarapan dulu,” tawar Ibu sambil membantu mempersiapkan barang yang akan aku bawa ke sekolah.
“Iya,”
Aku ke dapur dan mengambil piring lalu mengisinya dengan sejumput nasi dari dalam magic jar kemudian kuguyurkan dengan mie rebus yang telah dimasak ibu. Kakak juga ikut menyantap makanan sederhana ini. Sementara adik masih terlelap amat lucu. Sementara itu juga Ayah tiriku sudah berangkat kerja.
“Ibu aku berangkat dulu, ya” pamitku. “Do’akan supaya aku bisa jawab soal dengan lancar dan benar.”
“Aamiin.”
“Assalamu’alaikum.”
Ya, hari ini aku ujian. Di mana tahun ini adalah pertama kalinya untuk anak SD bergelut dengan soal berstandar nasional, bernamakan UAS-BN. Tahun ini juga kakakku telah selesai melangsungkan UN untuk SMK dan tinggal menunggu pengumuman saja.
Jalanan rupanya masih basah akibat gerimis yang turun tadi malam. Terkadang ada juga genangan air tertampung di jalanan yang rusak berlubang. Aku harus hati-hati agar seragamku tidak kena cipratan air yang telah tercampur lumpur.
Aku sudah berada di sekolah. Aku sudah berada di ruang ujian. Aku sudah berada di bangkuku. Bel juga telah berdering nyaring. Alat ujian sudah kuletakan di atas meja. Lembar soal dan jawaban telah diletakan oleh pengawas di atas meja. Aku dan teman-temanku seketika hening dan serius menjawab soal demi soal hingga tuntas.
Waktu tidak terasa memaksa kami untuk menghentikan aktivitas menjawab soal. Pengawas mengambil lembar soal dan lembar jawaban yang telah terisi. Dan kami kemudian pulang. Inilah aktivitasku selama tiga hari ini.
***
Akhirnya tuntas sudah ujian dunia itu. Aku sudah agak bisa bernapas lega. Sama halnya dengan kakak, aku juga tinggal menunggu kelulusan.
Selama tiga hari itu aku tak pernah memperdulikan gangguan-gangguan astral yang sebenarnya terus menghujamku. Tetap fokus. Meskipun sebenarnya aku tidak tahan dan ingin segera menyelesaikan semuanya.
Malam ini pun, batas antara kenyataan dan khayalan amat semu. Aku seperti sedang berada di batas antara dua dimensi berbeda. Ada sekitar sepuluh ‘manusia’ (atau bukan manusia). Aku benar-benar tidak tahu mana dunia nyata dan mana dunia lain. Ah aku kenapa? Tolong selamatkan aku!
Sesuatu yang dingin memegang dan menarik betisku membuat aku tersungkur. Seketika penglihatanku menjadi suram. Aku berusaha meraih apa saja untuk dijadikan pegangan, tapi sia-sia. Rasa nyeri terlalu berkuasa. Aku mencoba menutup mata beberapa detik menahan rasa pedih. Saat kembali membukanya, aku sudah berada di alam nyata lagi dengan luka yang tersisa. Sendirian.
Ternyata lututku mengeluarkan darah segar. Aku terpaku bingung. Terduduk di rumput lapangan. Serasa ada yang menahan badanku untuk bergerak dan lidahku untuk berucap. Ketegangan yang amat teramat sangat, napasku mulai memburu saat terlihat sesuatu yang sangat menjijikan dan menyeramkan. Ia mengenakan baju kebaya lengkap dengan kain batik sebagai bawahannya. Rambutnya menjuntai ke bawah menyapu tanah. Rambut itu menutupi mukanya yang samar terlihat hancur. Perlahan namun pasti ia berbalik badan.
Selama ini aku hanya memerhatikannya. Makhluk itu memiliki lubang di punggungnya. Rangka tulang belakangnya pun terlihat. Belatung tidak ragu untuk bersarang di sana, menggerogoti daging yang begitu busuk.
Sebuah bau anyir menyisip ke penciumanku, menusuk sekali, membuat perutku semakin lama semakin mual, ingin mengeluarkan isinya. Apalagi makhluk itu kian mendekatiku dengan berjalan mundur. Sungguh, pikiranku mulai kacau dan waswas. Tanganku meraba ke belakang tubuhku.
“Gunting?,”
“Siapa yang telah membuang gunting ini? Gunting ini padahal terlihat masih tajam untuk memotong apa saja.” Aku berbicara sendiri dalam hati.
Kalau memang gunting ini sengaja dibuang, namun mengapa di lapangan? Bukankah cukup berbahaya jika terinjak kaki telanjang anak-anak yang sering bermain di lapangan ini? Lalu apa arti aksara jejawan yang terukir di gagang gunting yang berwarna biru itu? Saat itu aku sama sekali belum bisa membacanya tanpa melihat catatan yang kupunya. Apalagi dalam kondisi yang remang-remang.
Sial! Aku terlalu lama berpikir. Makhluk itu hampir dekat denganku. Refleks, aku langsung melempar gunting yang sedang aku genggam ke arahnya guna menolak segala kemungkinan buruk yang mencengkeram akalku.
.......
(Akankah aku berhasil menaklukan gangguan sundel bolong itu? Bagaimana kisahku selanjutnya...? nantikan cerita selengkapnya, mudahan novelku terbit.)