« SEBELUMNYA
Kemana langit biru? Kenapa langit berubah menjadi jingga? Astaga, ini sudah maghrib, dan kumandang adzan juga sudah terdengar saling bersahutan. Suasana mulai hening, sepi, dan tentu saja gelap. Aku takut, aku ingin pulang. Tapi, aku mau pulang lewat jalan mana? Maju, atau balik arah? Dan pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dipikiranku, konflik batin yang kurasakan sungguh membuatku pusing. Kalau aku balik arah, maka aku akan bertemu dengan leak –makhluk yang berkeliaran hanya dengan kepala dan isi tubuhnya saja–, sementara jika aku maju maka aku akan pulang lewat sawah yang di sana pasti tak ada setitik cahaya pun dan di sana juga ada kuburan. Fyuh......... tanpa berpikir terlalu lama, aku memilih untuk maju karena jika balik arah untuk kembali ke rumah, itu terlalu jauh.
Kemana langit biru? Kenapa langit berubah menjadi jingga? Astaga, ini sudah maghrib, dan kumandang adzan juga sudah terdengar saling bersahutan. Suasana mulai hening, sepi, dan tentu saja gelap. Aku takut, aku ingin pulang. Tapi, aku mau pulang lewat jalan mana? Maju, atau balik arah? Dan pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dipikiranku, konflik batin yang kurasakan sungguh membuatku pusing. Kalau aku balik arah, maka aku akan bertemu dengan leak –makhluk yang berkeliaran hanya dengan kepala dan isi tubuhnya saja–, sementara jika aku maju maka aku akan pulang lewat sawah yang di sana pasti tak ada setitik cahaya pun dan di sana juga ada kuburan. Fyuh......... tanpa berpikir terlalu lama, aku memilih untuk maju karena jika balik arah untuk kembali ke rumah, itu terlalu jauh.
Angin
sepoi meniup tengkukku. Kucoba untuk tenang. Susah!. Kucoba lagi. Tetap saja,
susah!. Ah, aku menarik napas dan menghembuskannya melalui mulut. Aku
terbayang-bayang, kata orang: anak-anak
ngga boleh keluar maghrib, banyak hantu berkeliaran dan ada wewe gombel yang
akan menculik anak kecil. Kenapa sih kata-kata itu tiba-tiba muncul
dikeadaan seperti ini? Dan ternyata mitos yang sudah beredar luas memang benar adanya
karena aku ditakuti suara kikian tawa seseorang yang tertangkap oleh daun
telingaku, sangat jelas, dekat, dan mengerikan. Langsung saja aku mengambil
ancang-ancang seraya menoleh kiri-kanan kemudian segera lari secepat kilat.
Rasa takutku semakin menjadi-jadi ketika kikian yang kudengar tak lagi satu
namun sangat banyak. Suara itu berasal dari segala arah. Sial!. Perempuan
berpakaian putih dekil berdiri menatap mataku nanar, wajahnya yang hancur
membuatku mual dan ingin muntah, tapi aku terus berlari hingga ujung jalan
sudah mulai terlihat. Sykurlah. Tawa mengerikan itu sudah tak terdengar lagi,
perempuan dengan wajah rusak juga sudah pergi, sekarang tinggal satu rintangan
yang harus kuhadapi. Melewati kuburan. Berhasil tanpa harus bertemu dengan
makhluk jelek yang alamnya beda dengan kita. Huh.. Selamat datang kembali di
komplek perumahan.
Setelah
sukses melewati berbagai macam gangguan astral, aku menuju rumah. Langkahku
terhenti, lagi-lagi amarah itu masih berkuasa membuat aku pun enggan untuk
pulang. Aku bersembunyi di balik pohon nangka sembari mengawasi keadaan sekitar
rumah. Buset, makhluk apa yang duduk di atas ranting pohon jambu monyet yang
tertanam di depan rumah? Rambutnya sungguh acak-acakan, barangkali seumur
hidupnya tidak pernah keramas. Eh, dia malah menyeringai licik ke arahku. Baju
rombeng dengan bercak darah terpasang di tubuhnya, sangat menjijikan. Jangan
sampai dia menyentuhku!.
Daripada
aku harus melihatnya lebih lama dan dia melakukan sesuatu kepadaku, lebih baik
aku segera pergi. Dengan sisa tenaga yang kumiliki kakiku mulai melangkah
perlahan. Sekarang aku tak tahu harus ke mana lagi.
Rasanya
ini sudah larut malam, soalnya suasana sangat sunyi. Angin malam pun terasa
begitu dingin menyilukan. Aku hanya dapat menggosok-gosok kulitku agar sedikit
hangat. Huh, beginilah kondisi malam. Cahaya purnama pucat nyaris tak terlihat
berusaha menembus sela-sela dedaunan. Sementara jangkrik dan kodok sepertinya
sedang asyik bersenandung bersahutan. Aku mengambil keputusan akan berdiam diri
di sekolah. Ternyata di jalan menuju sekolah nampak tiga ekor anjing hitam
sedang beristirahat. Masa aku tidak jadi ke sekolah? Padahal sekolah sudah ada
di depan mata. Yaudah, dengan percaya diri dan tenang tanpa mengganggu
anjing-anjing itu aku berjalan. Namun kesialan menimpaku, salah satu anjing
bangun dan langsung saja mengejarku. Mengetahui ada ancaman, aku segera berlari
sekencang mungkin, adrenalin terpacu. Aku masih selamat ketika aku berhasil
memasuki gerbang sekolah.
“Mau
ke mana?” tanya penjaga sekolah.
Sudah
tau aku mau masuk, malah nanya lagi. “Masuk,” jawabku singkat.
“Jangan,”
“Lah,
kenapa?”
“Bahaya
saja, banyak hantu. Nanti kamu disembunyiin.” jelasnya.
Nyaliku
seketika ciut.
“Kamu
pulang saja” perintahnya
Aku
diam mematung, kecuali bola mataku yang terus melirik segala arah. Banyak sekali
makhluk-makhluk yang hobinya mengganggu hidupku. Aku menelan ludah saat anak kecil
mendekatiku. Tanpa berkata-kata apalagi harus pamitan, aku langsung kabur dan benar-benar
pulang.
Meski
masih dibaluti amarah, namun kali ini aku cukup berhasil meredamnya. Kulihat jam
dinding telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Untuk itu, aku pun ke kamar tanpa
berbicara sepatah kata terlebih dahulu dan tertidur pulas.