JANGAN LIHAT POHON ITU!
Ini adalah kelanjutan dari Novel Adaptasi “Kuntilanak”. Untuk para
readers yang belum membaca
cerita sebelumnya, klik disini!. Dan yang belum membaca dari awal, klik di sini!
cerita sebelumnya, klik disini!. Dan yang belum membaca dari awal, klik di sini!
(gue cut yah.. J *ceritanya sedikit ngga penting* dan supaya..... J)
“Eh,
Tante!” sapa anak itu ceria. “Tadi ada yang nyariin Tante.”
Sam
bingung. “Nyariin saya? Siapa?”
Anak
itu menyeringai semakin lebar. Matanya seolah menyala. “Saya ngga boleh nyebut
namanya.”. Lantas, ia pergi meninggalkan Sam.
Bla-bla-bla-bla
Buku
yang diberikan oleh Iwank kepada Agung “Mimpi:
Pintu ke Alam Supernatural”.
Menurut buku ini, kalau sebuah mimpi muncul berulang-ulang
kali dan selalu sama, maka asalnya bukan
dari alam bawah sadar lagi, tapi,” Agung membentuk dua tanda kutip dengan
tangannya, “alam lain.”
Bla-bla-bla-bla
“Kebakaran rumah sering berarti putusnya
hubungan dengan keluarga. Masuk akal. Kamu ‘kan mulai mendapat mimpi-mimpi itu
sejak .....”
Bla-bla-bla-bla
Bulan
menyinari jalan menuju rumah kost. Agung merinding melewati pemakaman itu, dan
memandangi pohon tua di tengahnya dengan rasa bergidik. Sam mendesis tegas, “Jangan
diliatin!”
Agung
bingung “Kenapa emang?”
“Pokoknya
jangan!” larang Sam dengan tegas. Namun Sam sendiri bingung kenapa ia bersikap
seperti itu. Padahal tadi pagi, ia merasa peringatan Bang Udin untuk “permisi-permisi”
ke pohon itu adalah sesuatu hal yang konyol. Nampaknya, Sam terpengaruh suasana
malam yang sunyi senyap itu.
Sam
tiba di depan rumah kost, dan menahan agar Agung tidak mengantar hingga ke
dalam. “Ngga enak sama anak-anak yang lain,” demikian alasan Sam. Agung memaklumi.
Ia pun mengecup pipi Sam. “Aku pulang dulu, Say.” Seperti biasa kecupan itu
tidak dibalas.
“Gung,”
panggil Sam, menahan langkah Agung sejenak. Agung menoleh, berharap Sam
mengatakan sesuatu mengarah ke pemulihan hubungan mereka berdua. “Inget ya. Jangan
diliatin pohonnya!”
Agung
kecewa, dan sedikit sebal menanggapi sikap Sam yang aneh itu. “Iya, iya, ah!”
Agung
melangkah pergi dengan umpatan-umpatan kecil di dalam hatinya. Sejak kapan Sam
jadi lebih memerhatikan pohon tua bangka ketimbang perang dingin di antara
mereka? Apa Sam pikir Agung takut dengan pohon konyol di tengah kuburan? Apa Sam
lupa bahwa sejak dulu mereka bersama–Agung, Sam, dan Iwank–tidak pernah peduli
dengan berbagai takhyul, makhluk halus, roh jahat, roh baik, roh genit, dan
sebagainya?
Agung
berjalan melewati taman pemakaman kecil itu, dan malah melotot ke arah pohon
penjaga itu dengan rasa sebal. Ini nih
yang dibesar-besarkan oleh Sam? Sama sekali tidak menyeramkan bagi Agung.
Hanya seonggok kayu tua berambut daun.
Apa
salahnya melihat-lihat sejenak?
Agung
mengeluarkan gantungan kunci dari sakunya. Gantungan kunci itu berupa senter
kecil. Lumayan untuk menerangi jalan di depannya. Agung mengetuk-ngetuk senter
cilik itu untuk menyalakannya. Susah juga. Maklum senter kuno, jarang dipakai.
Begitu
berhasil menyala, hal pertama yang disorot oleh senter itu adalah seekor kucing
hitam di atas sebuah makam yang langsung mengeong kencang ke arah Agung. Agung kaget
bukan main, hingga mundur beberapa langkah ke belakang, tersandung sebuah
makam, dan jatuh. Senter itu mati lagi.
“Anjrit!”
umpat Agung kesal. Kucing hitam bermata hijau menyala melompat pergi, menjauh,
lantas memanjat pohon tua itu.
Bla-bla-bla-bla
Sebuah
suara perempuan yang terkekeh-kekeh di dekatnya membuat Agung melonjak kaget.
“Siapa?!”
Agung berputar ke sekelilingnya sambil menyorotkan senternya “Siapa?!” Tidak
ada sesosok manusia pun tampak di sekeliling Agung. Namun, Agung mendengar
daun-daun di pohon tua itu bergerak-gerak, saling bergesekan dengan kencang,
seolah ada sesuatu yang bergerak-gerak di balik daun-daun itu.
Bla-bla-bla-bla
Kaki
Agung membentur pagar tembok yang mengelilingi pohon itu. Agung jongkok, lantas
memerhatikan ukiran yang menghiasi keramik di pagar tembok tersebut. Sebuah motif
batik yang tidak jelas apa bentuk dasarnya tertera di situ. Agung tidak bisa
memastikan apakah itu gambar daun, parang, atau bunga.
Agung
mengetuk-ngetuk keramik itu, hingga akhirnya pecah sepotong. Dengan senang,
Agung mengambil potongan keramik itu, dan mengantunginya. Angin tiba-tiba
menyapu kaki Agung, membuat daun-daun kering sekitar tanah itu berterbangan. Agung
tertegun. Dirasakannya bulu kuduknya berdiri.
Bla-bla-bla-bla
Kali ini Agung selamat.