.....
Proses
belajar-mengajar berlangsung sedikit membosankan. Aku sungguh tidak dapat
konsentrasi menerima setiap pelajaran yang diberikan. Sebentar-bentar aku
melihat jam yang terasa amat lama untuk berpindah ke angka selanjutnya.
Sementara angin meniup tengkukku beberapa kali. Penasaran, aku menoleh ke
belakang, mengira ada yang iseng. Tapi ternyata, di setiap pojok bagian
belakang ruang kelasku sudah ditempati makhluk tak ideal, tentunya mereka tidak
kukenal sama sekali. Apa mereka ikut
belajar? Tapi mereka terlihat cuma fokus memperhatikanku begitu tajam.
Buru-buru, aku kembali menghadap ke depan. Sama saja, di pojok bagian depan pun
kini sudah disarangi mereka yang .... yang.... yang bikin perutku mual!.
“Duh!” keluhku sambil memegang perut.
Buih
keringat dingin muncul mengilapkan kulitku jika terkena cahaya. Aku ketakutan
dan merasa pusing. Kepala kutelungkupkan dengan posisi miring di atas meja dengan tangan kanan sebagai
bantal sedangkan tangan kiri tetap menekan-nekan perutku yang semakin ingin
mengeluarkan isinya.
Akhirnya
pelajaran usai, waktunya para siswa untuk istirahat. Namun aku masih diam di
bangkuku. Dan berhubung leherku sedikit pegal dikarenakan menghadap kanan
sedari tadi hingga bel istirahat berbunyi.
Ditengah
rasa pusing yang masih menyerang kepalaku, kucoba untuk duduk tegak. Untung
saja mereka yang kulihat tadi sudah tidak ada. Lalu bukannya enakkan duduk
dengan posisi begini malah ini membuatku semakin, semakin, dan semakin pusing
ditambah isi perut seperti sudah berada di ujung tenggorokan.
Tidak
tahan, aku memutuskan untuk pergi ke WC yang berada di lantai dasar –kelasku
terletak di lantai dua– untuk mengeluarkan isi perut yang menuntut ingin
keluar. Tetapi, saat baru saja berdiri dan berjalan sekitar dua langkah, isi
perutku itu tumpah dari mulut yang agak pucat dan dingin di dalam kelas. Aku
sungguh malu, tapi aku bersyukur mempunyai teman yang pengertian dan mau
membantu.
“Ke
UKS aja yuk,” ajak salah seorang teman kelasku yang merupakan anggota PMR di
sekolah.
“Ngga
ah, aku di sini saja,” tolakku kemudian duduk bersandar pada tembok.
Tidak
ada paksaan yang kuterima, temanku itu langsung turun dan kembali namun membawa
segelas air gula hangat dicampur perasan jeruk nipis. “Kalo gitu, minum ini,”
“Ya,
terimakasih.”
Tak
lama kemudian kondisiku membaik. Aku kembali memasuki kelas yang masih memiliki
aura negatif.
AAAA-AAAA-AAAA
“Ada
orang kesurupan tuh,”
Mendengar
kata kesurupan, aku sangat senang. Tidak tahu apa penyebabnya. Di momen seperti
itu aku bisa membuktikan bahwa mereka itu ada di langit yang sama dengan yang
kita naungi.
“Siapa
tuh?,” selidikku.
“Kakak
kelas,”
“Coba,
permisi.. aku mau lihat.” Aku mengenali orang yang kesurupan itu. Memang
beberapa waktu yang lalu aku melihat dia seperti kehilangan kendali, aura pada
tubuhnya menampakkan perasaan dirinya yang mudah berubah.
Aku
hanya mengamati kakak kelas itu dari jarak yang tidak terlalu dekat dan tidak
terlalu jauh. Selain teman-temannya yang menahan tangan dan kakinya yang terus
meronta, di dekatnya juga ada lelaki aneh berawakan gemuk berkulit gelap dan
hanya menggunakan kolor saja.
Lelaki
itu memiliki bulu-bulu lebat yang menumbuhi kulitnya, rambutnya gondrong
acak-acakkan serta wajah yang sangar membuat penampilannya amat jauh berbeda di
antara semua orang yang ada. Ini pertanda, lelaki itu bukan manusia, lelaki itu
adalah makhluk yang mengganggu kakak kelasku itu.
Melalui
batin, aku dan si makhluk aneh itu bercakap-cakap.
“Kenapa
kamu ganggu dia?”
“Dia
lemah,”
“Lalu
apa hubungannya? Hah?,”
Pertanyaanku
tak dijawab.
“HEY!
Kenapa? Kamu ini suka mengganggu!”
“Tidak,
kalian pun suka mengganggu tempat kami,”
“Maksudmu?”
“Kalian
yang memulai,”
“Kami
itu sebagian besar tidak bisa melihat wujudmu, jadi jika kami melakukan
kesalahan, maafkan,” aku menghela napas panjang, “Tapi tidak harus begini
caramu membalas kami.”
“Tidak
mau,”
“Lah
kenapa, gitu?”
“Bukan
urusanmu. Lagipula mereka yang sebenarnya tau keberadaan kami tapi malah mereka
yang mengganggu, dan banyak yang tidak percaya.”
“Makanya
ka........”
Belum
saja aku mengakhiri kalimat yang akan kuucapkan, tetapi makhluk itu malah pergi
dan semakin jahat.
Kakak
kelasku mengerang-erang histeris. Teriakannya nyaring dan terdengar mengerikan.
Suaranya seolah mengaum. Tubuh perempuan yang kemasukan setan ini semakin
kejang, ia mengedarkan pandangan. Ekspresi matanya semakin beringas dan
memancarkan amarah layaknya binatang.
“AAAKKKHH!
GRRMMMMM!” ia meraung keras.
Sungguh,
aku kasihan melihatnya seperti itu. Tapi aku juga tidak bisa melakukan sesuatu.
Makhluk yang merasuki tubuhnya terlalu keras kepala. Aku berdiri dalam diam
mengingat perkataan makhluk itu tadi. ‘mengganggu
tempat?’.
Refleks,
kaki ini tiba-tiba mengajakku menuju jendela. Bola mata membawaku untuk
menyaksikan pohon sawo yang tertanam di halaman depan sekolah.
“Oh
jadi ini penyebabnya,”
“Apa
itu?,” sambar seseorang yang kukenal menanyakan perkataanku.
“Eeeee..
mmmm ngga ada,” aku lumayan bersusah payah menjawabnya dan beringsut pergi
serta kembali ke kelas.
Pantas
saja hari ini banyak kejadian aneh yang kualami semenjak tiba di sekolah.
Ternyata ini penyebabnya. Pohon kokoh yang tertanam di halaman depan sekolah
telah dipangkas agar tidak terlalu lebat. Rupanya mereka yang tak kasatmata
oleh manusia biasa merasa terganggu dan membuatnya naik pitam.
Sebenarnya,
di situ ada dua pohon besar yang tertanam. Sudah lama pohon itu berada di sana.
Dan menjadi markas para hantu, jin, setan, atau apalah namanya itu.
Pohon
dengan nama ilmiah Chrysophyllum Cainito
itu memiliki buah yang manis. Kebanyakan orang menyebutnya pohon sawo susu.
Aku
memerhatikan pohon itu cukup lama dari jendela kelas, tiba-tiba...
“Woy!
Serius amat. Liat apaan si?” temanku membuatku kaget. Ia kemudian berdiri di
sampingku.
“Liat
pohon itu, ya?,” tanyanya
“Iya,”
ah aku benar-benar tidak mood untuk
berbicara panjang.
“Sudahlah,
jangan dilihat terus, ngeri lho... Bukan pohonnya yang ngeri, tapi kamunya
haha,”
“Sialan,”
ketusku. Ini memancingku untuk bertanya pada temanku itu, “Kenapa pohon yang
itu saja tempat mereka tinggal?”
Temanku
bingung, “Maksud kamu hantu?”
“Menurutmu?”
Lalu
dia ikut memerhatikan pohon tua yang masih mampu menopang dahan-dahannya yang
besar. Tampak guratan wajahnya mengisyaratkan bahwa ia ikut penasaran dan
bingung.
“Aku
juga ngga tau, aku kan ngga bisa melihat mereka yang kamu maksud,”
“Iya
sih,” aku terdiam beberapa detik sambil terus mengamati pohon sawo susu yang
bagiku tak semanis namanya, “Coba deh kamu perhatikan lebih jelas. Pohon yang
ini jauh lebih tenang seperti ada yang melindunginya,”
“Bener
juga. Kalo yang itu kan sering banget gerak ditiup angin,”
Kami
pun kemudian diam seribu bahasa. Masih dalam posisi yang sama, pohon angker itu
menghipnosisku agar aku selalu melihatnya. Sampai aku melihat ada sesuatu yang
sedang duduk di salah satu dahannya, membelakangiku. Rambutnya panjang sekali,
kukunya hitam sepanjang tiga sentimeter.
Bukannya
hantu itu muncul di malam hari saja?
Tidak
benar. Jika kalian mempunyai bakat melihatnya, mungkin kalian juga akan heran.
Mereka hadir di setiap waktu dan tentu akan mengganggu aktivitas kalian.
Apalagi kalau yang kalian temui itu iseng, ah aku berani jamin kalian pasti
akan sering mengumpat kesal.
Wanita
yang terlihat cantik dari belakang itu masih ada di sana. Perlahan namun pasti,
kepalanya memutar menoleh ke arah aku dan temanku. Hanya aku saja yang
melihatnya. Wanita itu ternyata tak secantik yang kubayangkan saat ia masih
membelakangi kami. Mukanya sedikit mencong ke kiri dengan bibir yang melepuh
serta mengeluarkan lendir berdarah dari mulutnya yang tidak bisa mengatup.
“Hoek!”
hampir saja aku muntah untuk yang kedua kalinya. Pemandangan seperti ini
sungguh tidak pantas untuk disaksikan berlama-lama. Sangat menjijikan! Huft...
aku sudah tidak tahan. Aku mendesis tegas, “Jangan diliatin terus ah!”
Temanku
bingung. “Kenapa emangnya?”
“Kalo
aku bilang jangan, ya jangan!” larangku dengan tegas.
Kebetulan
bel masuk pun berbunyi nyaring menyuruh para siswa untuk kembali ke kelasnya
masing-masing. Setidaknya sekarang aku cukup berkonsentrasi menerima pelajaran
yang diberikan guruku.
***
......
SAMBUNGAN »