“Aaaaaaaaaaaaargh..”
teriak seorang wanita saat seseorang menarik tangannya. Wajahnya diliputi
ketakutan saat tubuhnya terangkat dan wajahnya mendekat pada sosok yang
dikenalnya. Pak Thomas, dosen di kampusnya.
BRAK!
tubuh Archie terpelanting hingga menabrak meja. Thomas telah mendorongnya. Di
kegelapan kamar tamu, Archie dapat melihat wajah Thomas yang nampak garang
meski matanya terasa kunang-kunang sebelum akhirnya ia jatuh pingsan. Memang,
saat ini Archie sedang berada di rumah Thomas karena ada urusan penting
–konsultasi mengenai skripsi yang sedang dibuatnya–
***
Cahaya
kemerahan bergerak-gerak membuat Archie tersadar. Kulitnya merasakan udara yang
cukup panas selain bau benda terbakar yang terhirup hidungnya. Ketika Archie
membuka matanya perlahan, dia melihat dirinya berada dalam sebuah ruangan yang
diterangi cahaya dari puluhan lilin di lantai. Saat Archie hendak menggerakkan
tangannya, dia tersadar bahwa pergelangan tangannya telah terikat di sebuah
ranjang besi tua. Kakinya pun terikat kuat oleh tali tambang hingga aliran
darahnya terhambat dan membuat Archie merasa kesemutan.
“TOLONG!
TOLONG! TOLONG!” teriak Archie. Namun tak ada jawaban. Archie berusaha melihat
keadaan di sekelilingnya. Tubuhnya gemetar ketakutan. Nafasnya tak beraturan.
Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Archie
terkesiap saat pintu ruangan itu terbuka. Thomas muncul membawa sebatang lilin
sambil menyeringai. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung
hingga siku serta celana jeans biru gelap.
“Lepaskan saya! Mohon,” rintih Archie.
“Mohon.. lepaskan saya” suara Archie semakin lemah nyaris tak terdengar. Ia
meneteskan air mata.
“JANGAN
NANGIS!” raung Thomas sambil meletakkan lilin yang dipegangnya di atas meja.
“Kalo kamu ngga nangis semuanya bakal ngga sakit kok!”
“Maksudnya
apa? LEPASIN SAYA! LEPASIN, PAK!”
Thomas
hanya tertawa seraya mengeluarkan sebilah pisau dari sakunya. “Kamu diam ya,”
senyum sinis dilemparkan Thomas kepada Archie. “Jangan nangis, apalagi teriak!”
ucapnya lemah lembut, tetapi ada hal berbeda dibalik kelembutan itu. Kelembutan
yang palsu belaka.
Archie
berteriak histeris. Tubuhnya bergerak-gerak memberontak ketakutan melihat apa
yang dibawa oleh Thomas dan mendengar perkataannya.
“BRENGSEK!
PEMBUNUH!! LEPASIN! LEPASIIIINNN!!!” jerit Archie. Tangannya terasa perih
ketika kulitnya lecet tergesek oleh tali tambang yang mengikatnya. Thomas
semakin mendekat, akan menancapkan pisau itu ke perut Archie, namun..
TEEETT!!
TEEEETT!!
Suara
nyaring bel rumah berbunyi. Thomas menunda apa yang akan dia lakukan kepada
Archie, lantas langsung membekap mulut Archie dengan lakban dan meninggalkannya
menuju ruang depan.
“Iya...”
Thomas membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran khas Bali.
“Oh kalian, ayo silakan masuk”
Septi,
Alya, Joe, dan Thazila masuk ke dalam rumah yang sangat mewah milik Thomas “Makasi,
Pak”
“Ada
perlu apa kalian kemari?” tanya Thomas ramah
“Ehhhhmm..
gini, Pak, kita mau nanya materi penelitian minggu lalu,” jelas Septi
“Sebentar
dulu, ya. Biar saya siapkan minuman supaya tenggorokan ngga kering.”
“Ngga
usah ngerepotin deh, Pak. Justru seharusnya kita yang bawakan Bapak sesuatu,
tapi malah lupa. Hehehe” tolak Alya dengan menambah sedikit bumbu komedi di
dalam kalimatnya.
“Tidak
merepotkan. Tamu adalah raja.” Thomas tersenyum manis.
***
“Silakan
diminum”
Mereka
semua langsung menyeruput sirup rasa strawberry
itu dengan penuh rasa nikmat. Tanpa mereka sadari, sebenarnya dalam sirup
tersebut telah tercampur setetes darah dan obat tidur yang sengaja diberi oleh
Thomas.
“Ohya,
Pak, itu siapa?” Joe menatap seseorang yang sedang memerhatikan mereka, orang
itu menatap sambil memakan apel merah.
Thomas
langsung melihat orang yang dimaksud oleh Joe, “Oh.. itu sepupu saya,” dan
kembali melihat Joe, “Namanya Aris.” lanjutnya memperkenalkan.
“Emang
Pak Thomas di sini tinggal sama siapa aja?” sahut Thazila seraya memegang
keningnya yang terasa pusing.
“Berempat,
termasuk saya,” Thomas belum menyelesaikan kalimatnya karena mendengar suara
teriakan
“Aaaaaaaaaaaaaa”
Archie berteriak.
Septi
dan kawannya begitu heran, ia bertanya “Suara siapa itu,?”. Saat selesai
bertanya, saat itu pula tiba-tiba ia pingsan, kemudian disusul Thazila, Joe,
dan Alya.
Aris
mengahmpiri tubuh-tubuh lunglai di ruang tamu, diikuti dua orang lainnya, yakni
Fido dan Vira. Sementara itu, Thomas berlalu menuju kamar di mana Archie
disekap. Thomas menampar keras wajah Archie hingga memerah.
Archie
menangis histeris.
“Diam!”
hardik Thomas saat Archie berusaha menendang-nendang dirinya ketika kakinya
dilepas. Lalu Thomas menyayat nadi Archie. Archie lemah tak berdaya. Air
matanya yang meleleh adalah satu-satunya reaksi perlawanan dari dirinya.
Thomas
beranjak, menuju meja rias, ia membuka laci dan mengambil sesuatu dari
dalamnya. Parang panjang dan tajam kini ada di tangannya. Ia kembali
menghampiri tubuh malang Archie. Sabetan parang menggores bahkan memutuskan
kepala Archie hingga darah tak ragu untuk muncrat mengenai badan Thomas.
Senyuman sinis tersimpul di wajahnya. Ia memotong tubuh Archie mulai dari
lengan, kaki, serta perutnya pun digunting, menyebabkan ususnya terurai licin
hingga jatuh ke lantai yang lembab.
Tak
lupa, Thomas mencongkel mata Archie menggunakan garpu yang diambilnya dari laci
meja. Kemudian ia menyimpan bola mata itu di dalam sebuah toples kaca, yang
ternyata sudah terdapat banyak bola mata manusia-manusia yang bernasib sama dengan Archie.
***
“Elo
siapa?” raung Thazila. Ia menemukan dirinya dalam keadaan terikat di kursi
kayu.
“Aku
Vira,” ia menyeringai agak lebar, “Selamat datang di rumah kami, terimakasih
sudah berkunjung.”
“Elo
mau apa? Lepasin gue! Dan mana temen-temen gue?”
“Duh,
jangan khawatir, mereka lagi diurus sama Aris dan Fido kok,” tangan Vira
mencolek dagu Thazila.
“Lepas!
LEPASIN GUE!” Thazila meludahi Vira. Ini membuat Vira geram dan langsung
mengambil paku dan palu yang kemudian ditancapkan di kedua punggung tangannya.
Nyeri begitu terasa saat darah mulai mengucur. “Aaaaaaaaaaaaaa” Thazila
meringis.
“Kamu
jangan macam-macam!” ancam Vira. Ia mengambil kapak besar yang tergantung di
dinding. “Kamu tidak perlu cemas. Ini tidak sakit kok.”
“LEPASIN
GUE! TOLOONG! TOLOOOONG!!”
“Ngga
ada yang bisa nolongin kamu di sini!”. Kapak yang dipegangnya diayunkan dengan
cepat ke kepala Thazila. Tertancap. Otak Thazila pecah dan tanpa menunggu waktu
yang lama lagi, Thazila sudah meregang nyawa.
Jari
jemari tangan Thazila dipotong-potong tanpa sisa, Vira menghisap darah yang
keluar dari jari-jari itu tanpa sisa. Ia begitu menikmatinya, darah segar yang
kental.
TEEEEEETT...
TEEEEEETTT...
bersambung--
lumayan :)
BalasHapusLumayan apanya? -___-"
HapusEh tipe critamu hampir sama am yg lain..
BalasHapusIya. Kan aliran cerita saya bergenre Horror thriller slasher (: Hahaha. Sing penting alurnya beda toh :)
HapusNext, mau buat cerita persahabatan (: Semoga bisa jadi