ADA SUARA ORANG MANDI
Ini adalah kelanjutan dari Novel Adaptasi “Kuntilanak”.
Untuk para readers yang belum
membaca cerita sebelumnya, klik di sini!
Dan cerita paling awal klik disini!
Jam belum menunjukkan
pukul sebelas malam. Koridor lantai tiga sepi. Ada penghuni kost yang sudah
tidur, ada juga yang masih berkumpul di ruang bawah, menonton televisi
sama-sama sambil bersosialisasi. Sam memutuskan segera mandi untuk menyegarkan
dirinya, dan bergabung dengan penghuni lainnya yang masih mengobrol-ngobrol di
bawah.
Bla-bla-bla-bla
Saat sedang asyik
menyabuni tubuhnya, Sam mendengar kamar mandi di sebelahnya juga dipakai mandi.
Seseorang mengguyurkan air begitu banyaknya. Sam merasa bingung. Ia sama sekali
tak mendengar ada yang masuk ke dalam kamar mandi di sebelahnya itu. Ah,
mungkin suaranya tersamar oleh ributnya suara guyuran air di kamar mandi Sam
sendiri.
Saat Sam mengeringkan
tubuhnya dengan handuk, suara guyuran air di kamar mandi sebelahnya masih
terdengar tanpa henti. Sam menyunggingkan senyum geli. Heran. Itu mandi atau nguras bak sih?
Bla-bla-bla-bla
Ternyata, pintu kamar
mandi di sebelahnya terbuka lebar. Suara guyuran air sudah berhenti sama
sekali. Sam mengerutkan dahinya, bingung. Hati-hati, Sam melangkahkan kakinya melewati
pintu kamar mandi yang terbuka itu. Ia takut, jangan-jangan ada penghuni kost
lain yang nekat mandi denga pintu terbuka.
Dengan agak penasaran
dan perlahan-lahan, Sam melewati kamar mandi yang terbuka itu, dan melirik ke dalamnya.
Tidak ada orang sama
sekali. Bak air terisi penuh, dan air menggenang dengan tenang. Sama sekali
tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi itu baru saja digunakan.
Bla-bla-bla-bla
***
Bla-bla-bla-bla
“...adiknya itu
meninggal waktu umur tujuh tahun. Dia sendiri waktu itu umur sembilan. Mereka dulunya
akrab banget. Kalo main berdua tuh akur banget, deh. Anehnya, pas adiknya
meninggal, nih anak ngga pernah sedih, ngga pernah nagis, ngga pernah nanya. Kayak
ngga terjadi apa-apa, gitu.”
Bla-bla-bla-bla
“Terus, temen gue –nyokap
si anak ini– suatu hari nanya,” lanjut lelaki itu. “Dia nanya kenapa anak ini
ngga pernah kangen sama adiknya. Terus, dia Cuma ngejawab tenang ke nyokapnya, ‘Kenapa
mesti kangen?’ Temen gue tambah bingung, dong. Dia jelasin akhirnya, ‘Kan adik
kamu udah ngga sama-sama kita lagi.’ Eh anak itu geleng-geleng kepala, dan
bilang, ‘Dede ngga pergi, Ma’ ....”
Bla-bla-bla-bla
“Temen gue ini nangis
ngedenger anaknya ngomong gitu, terus bilang, ‘Dede kamu udah pergi.’ Tau ngga
si anak ini terus ngomong apa? Sambil nunjuk ke nyokapnya, dia bialang, ‘Tuh...tiap
hari saya liat Mama gendong Dede!’ ....”
Bla-bla-bla-bla
Kamar Dinda memang
terasa jauh lebih sempit dari kamar Sam. Apalagi barang-barang Dinda jauh lebih
banyak. Kalung, gelang, dan berbagai perhiasan manik-mank yang warna-warni
berserakan di mana-mana –ada yang jadi hiasan ruangan itu, tirai pembatas, atu
semata-mata barang dagangan.
“Kebanyakan gue ambil
dari Bali, sih. Dari Celak langsung. Murah-murah banget. Lu pilih aja tuh suka
yang mana. Beli tiga dapet empat.”Dinda menjelaskan.
Sam lebih memerhatikan
cermin antik yang ada di kamar itu. Sama persis yang ada di kamarnya. “Lu dapet
juga, nih?”
Dinda baru sadar bahwa
perhatian Sam lebih tertuju pada cermin besar yang sudah ia hiasi dengan banyak
kalung manik-manik agar tampak lebih manis. “Iya. Keren, ya. Kata Bu Yanti, cuma
ada empat, tuh. Gue cuma tau di sini sama di kamar Ratih aja.”
“Yang satu di kamar
gue, sih. Satu lagi di lantai dua, kali ya?”
Dinda tersenym geli. “Lu
penasaran, ya, sama isi lantai dua?”
Bla-bla-bla-bla
***
Malam itu tidak ada
mimpi aneh yang menghantui tidur Sam. Mungkinkah itu sebuah pertanda baik bagi
Sam? Whatever! Yang jelas, Sam bangun
dengan penuh semangat.
Sam menuruni tangga
dengan cepat. Siang itu ia mengenakan rok panjang gaya gypsi kesukaannya yang
berwarna merah tanah dengan motif bunga-bunga kecil. Atasannya warna krem tanpa
lengan, membuat kalung yang baru diberikan Dinda kemarin malam tampak mencolok.
Sam semakin menyukai kalung itu saja.
Pagi ini Sam hendak
membayar uang kost bulan pertamanya ke Bu Yanti. Ia mencari perempuan separuh
baya itu di dapur.
“Ini juga kantor Ndoro
Ayu Sukma kalau ia lagi berkunjung ke sini,” ujar Bu Yanti mengajak Sam masuk
ke ruang tempat ia biasa mengurus administrasi rumah kost itu. “Kadang-kadang
dia suka bekerja di sini karena jauh dari keramaian,” lanjutnya. Perempuan itu
kelihatnya senang sekali menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah
kuno ini. Sam juga baru memerhatikan bahwa Bu Yanti selalu menyebut nama
pemilik rumah dengan penuh rasa hormat.
Masuk ke ruangan itu,
Sam dan Bu Yanti melihat sebuah kursi kosong menghadap ke pojok. “Aduh, si Mbok
ini ya! Bandel banget dibilangin dari dulu! MBOOOK! MBOOOK! Ini kursi kosong
kenapa ngadep ke pojok ‘gini, sih?” seru Bu Yanti. Sambil berteriak memanggi si
Mbok, Bu Yanti buru-buru mengangkat sendiri kursi di pojokan ruangan itu, dan
meletakkannya di hadapan meja kerjanya. “Kamu juga inget ya, Sam. Jangan sesekali
ngadepin kursi kosong ke pojok ruangan! Apalagi di rumah ini! Pamali!”
Karena menganggap
peraturan yang diucapkan Bu Yanti aneh dan tak masuk akal, Sam tak terlalu
mengindahkannya. Dengan santai, Sam bergerak menuju kursi yang sekarang sudah
berada kembali di hadapan meja Bu Yanti itu. Ia baru saja hendak menduduki
kursi itu ketika Bu Yanti berseru panik. “Eh! Jangan didudukin dulu! Haduuuh,
kamu ini!”
Sam jadi serba salah. Ia
tak paham maksud Bu Yanti. Duuuh, mending
gue buruan cabut, deh. Segera Sam menyelesaikan urusannya, lantas buru-buru
kabur sebelum salah gerak lagi!
Sial!
Begitu keluar dari
rumah kost, Sam baru menyadari bahwa ia lupa mengaitkan kunci pintu gerbang
rumah ke gantungan kuncinya. Berabe nih! Bisa-bisa
gue terkunci di luar rumah kalau pulang kuliah malam nanti! Segera ia
bergegas kembali ke kamarnya. Aduhh, terlambat lagi deh makan siang bareng
Agung, rutuknya lagi dalam hati.
Bla-bla-bla-bla
Sial! Gue taruh di mana
sih?
Ia melongok ke kolong
meja. Sebuah benda berkilat tergeletak di salah satu sudutnya. Sam buru-buru
jongkok dan merangkak untuk mengambil anak kunci itu. Ia mendorong sembarangan
kursi yang menghalanginya. Begitu anak kunci itu berhasil di raih, Sam segera
membawanya pergi berlari-lari keluar dari kamarnya.
Sam tidak sadar bahwa
ia sudah meninggalkan kursi di kamarnya dalam keadaan menghadap ke sudut
ruangan.
(To
be continued »
next month)