KUNTILANAK
SAMANTHA
Puluhan ekor kuda berderap kencang
menuju sebuah rumah besar di tengah padang gersang. Tubuh mereka gagah dan
kuat. Langkah kaki mereka menggetarkan tanah, menjejak dengan tegas. Gemuruh
suara pacu mereka menggema, menggetarkan hari yang diterjang panas surya itu.
Lidah api yang merah, panas, dan
membara melalap rumah besar di tengah padang gersang itu. Di dalam rumah besar
itu, Sam berdiri di depan cermin. Tangannya memegang gunting. Gadis itu
menggerakkan tangannya, membabat dengan cepat setiap helai rambut panjangnya
dengan acak. Namun, tiba-tiba Sam tertegun. Wajahnya tegang. Dari cermin, ia
melihat pantulan bayangan lain selain dirinya. Segera[7], Sam berbalik dan menghadap ke sesuatu yang sudah
berdiri di belakangnya.
Seekor kuda putih yang dua kali
lebih besar dari tubuh Sam berdiri tepat di hadapan Sam. Kuda itu meringkik
nyaring. Suaranya menggetarkan seluruh ruangan itu. Sam mundur ketakutan.
Wajahnya pucat memasi. Sekuat tenaga, Sam melempar gunting di tangannya,
melukai leher kuda putih itu. Lantas, Sam berlari keluar, sementara kuda putih
itu meringkik marah.
Sam berlari sekuat tenaga, menyusuri
lorong-lorong rumah yang sedang runtuh dilalap api. Kuda putih itu berderap,
terus mengejarnya di belakangnya. Sam terus berlari, ia masuk ke lorong yang
sempit. Berharap kuda itu tidak akan bisa mengejarnya. Namun, kuda itu tetap
ada. Mengejarnya di belakangnya.
Sam tiba di dapur. Ia terpojok. Tak
tahu lagi ke mana harus berlari. Kuda putih itu berderap dengan cepat hendak
menerjang Sam. Tangan Sam meraih benda yang ada di dekatnya. Sebuah piring
besar diraihnya. Sam melontarkan piring itu ke wajah kuda putih dengan
sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya. Piring itu pecah ketika menyentuh
wajah kuda putih. Meninggalkan luka di sana. Langkah sang kuda tertahan,
membuat Sam punya waktu untuk segera lari keluar.
(gue
cut yah J
biar para readers penasaran dan begitulahh... Maav J)
Sam segera menutup kedua telinganya,
berharap tidak mendengar kata-kata itu. Namun, malam yang demikian sepi sempat
membuat suara lelaki itu tetap saja berhasil menyisip ke pendengaran Sam.
“Ayolah. Tidur di kamar saya saja.
Ibumu sudah mati. Kamu ngga usah anggap saya ayah lagi. Anggap saja lelaki
biasa. Kan saya juga ngga tua-tua amat.” Pintu masih digedor-gedor. “Sam cantik
.... Aatau kamu mau saya temani di dalam kamarmu saja? Buka, dong!”
Dengan rasa marah, Sam meraih gelas
di samping ranjangnya, dan melemparnya ke pintu kamarnya dengan keras. Gelas
itu pecah berantakan. “Pergi!” seru Sam. “Atau saya panggil polisi!”
Terdengar suara lelaki itu
terkekeh-kekeh geli. “Oke, oke. Besok malam saja kalau begitu. He he he ....”
Lelaki itu melangkah menjauh dari depan kamar Sam.
Sam merebahkan tubuhnya di ranjang lagi. Ia terlalu
takut untuk kembali tidur, sekaligus terlalu lelah untuk tetap terjaga. Ia
harus menjaga stamina tubuhnya agar cukup kuat dan segar pagi nanti. Ia harus
membawa semua barang dan pakaiannya yang sudah ia kemas. Koper dan ranselnya
sudah siap di dekat pintu kamar. Ada sebuah harapan yang ikut terkemas di
dalamnya. Sam hendak membawa semua itu pergi pagi-pagi besok dari rumah.
Terutama, ia ingin membawa semuanya menjauh dari lelaki itu.
Lima jam berikutnya, Sam kembali terlelap.
Mimpi membawanya ke sebuah padang gersang di mana
puluhan kuda sudah tergeletak binasa. Lalat mengerubungi bangkai-bangkai kuda
itu. Baunya berbaur dengan aroma asap hangus dari reruntuhan rumah yang baru
habis terbakar.
Sam berjalan sendirian. Ia kehilangan arah di padang
itu. Bau busuk menusuk cuping hidungnya. Sam buru-buru menutup hidungnya,
mencegah sengatan bau arang dan bangkai masuk ke pernapasannya.