Setelah menyuarakan rasa. Aku
mengerti kamu sudah memilih langkah bersimpang untuk mencari gerimis yang lebih
sejuk. Sedang aku menuju tanah lapang berharap hatiku bisa selapangnya. Aku
bukan tujuanmu. Barangkali denganmu hanyalah angan yang tak sempat untuk
disentuh, terlalu lama melayang hingga akhirnya jatuh. Kamu sama sekali malas
untuk sekadar menitipkan hati. Ini semua terlanjur berakhir pada kecewa, yang
memaksaku untuk lupa. Bagiku, melupakanmu bagaikan jalan panjang berliku yang
penuh lubang. Aku harus menempuhnya sendiri, aku harus menjaga setiap langkah
yang kuambil supaya tidak terjerembab dan tersesat.
Bekal terbaik dari patah hati adalah mengikhlaskan diri dan orang lain perihal jodoh dan garis hidup.
Padahal perkenalan kita masih
dangkal, tapi sudah diliputi ketidakharmonisan. Ini salahku. Aku terlalu terburu-buru
dalam menekanmu untuk segera berpendapat. Dampaknya seakan setiap argumen itu
sukses mematahkan mimpiku. Impian bersamamu telah sirna oleh badai yang
aku buat sendiri. Ruang kita semakin berjarak. Maka dari itu aku tahu diri. Aku
amat takut menatap matamu lagi seperti kemarin. Meski tak sanggup, rupanya
menghindar cukup baik. Semata, agar kehidupanmu tidak lagi diusik oleh cinta
yang masih tersimpan untukmu ini.
Memang di satu sisi aku ingin
menjauh demi membuang ingat tentangmu, namun di sisi yang lain hati ini enggan
untuk beranjak pergi. Aku tidak bisa berbohong bahwa aku masih menyayangimu
dengan sebenar-benarnya. Bahkan aku masih tidak sempat berpikir soal mengapa pesan
berupa kata “hai” saja mampu mengubahku menjadi dua pribadi berbeda yang
menimbulkan konflik batin. Boleh jadi, pesanku tergolong kalimat basa-basi yang
dengan gampangnya diacuhkan. Padahal aku perlu banyak detik untuk bergumul
dengan perasaan sendiri: apakah lanjut dikirim atau dihapus. Ini cuma alibi
supaya aku merasa kamu masih ada untuk jiwaku yang sepi.
Berbanding terbalik dengan
pesanmu. Kadang aku iri karena kamu dapat membuat orang sepertiku mencair hanya
dengan kata singkat. Kemudian saat itu aku bisa bergejolak mencari tahu cara
yang mampu membuatmu bertahan dalam lingkaran obrolan tersebut. Entah aku harus
berperan sebagai orang yang kerap meminta laporan mengenai kabarmu,
kesibukanmu, dan semua hal yang ada di keseharianmu. Terkesan klise, memang.
Kamu mungkin tak pernah tahu
bahwa setiap hari pikiran perihal dirimu selalu muncul dalam imajinasiku. Memikirkanmu
sudah menjadi candu, aku tidak ambil pusing bila suatu saat kamu memikirkanku
cumalah canda. Yang terpenting di setiap waktu, aku pasti selalu menyediakan
momen di mana aku harus melihat aktivitasmu walau jarang kutemukan. Meski begitu,
aku membenci diriku jika tiap melihat seluruh aktivitasmu masih saja menyisakan
benih rasa yang belum hilang. Mungkin aku terlalu naif, terlalu munafik untuk
memungkiri setiap perasaanku.
Maaf atas ego yang bersikeras
mencintaimu ini. Aku terlalu menggantung semuanya. Aku hanya ingin kau tahu
cinta bisa jatuh di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Lalu lewat
pertemuan itu, malam silam, dan kepadamu … aku jatuh cinta. Sehingga aku sulit
menghapusmu. Membuka lembaran baru itu tidak mudah, kamu sudah terlanjur aku
pilih.
Sesungguhnya aku lelah diterkam
keadaan. Aku ingin berdamai, berdamai dengan diriku. Aku harus membawa diriku
kembali pada titik awal di mana rasa itu belum ada. Sebab sekarang aku sudah
tahu bahwa kamu tidak menunjukku. Iya, mau dikata apapun, jejak kita tidak akan
pernah sama. Membuat di kondisi begini, aku tertatih, aku seolah hilang arah.
Kecewa dari suatu keberanian lebih baik ketimbang harus terjebak dalam radius perasaan yang belum sempat tersampaikan.
Sebelum mengusaikan tulisan ini,
aku ingin bercerita sedikit mengenai pertemuan kita beberapa waktu lalu. Saat itu
aku mengutuk diriku karena tidak teliti dalam membaca pesanmu. Hal yang
membuatku terlambat menemuimu, walau hanya sekitar 9-an menit. Aku betul-betul
sulit memaafkan diriku sendiri, bahkan kejadian itu cukup mampu menghempaskanku
ke jurang yang amat dalam.
Detailnya, padahal aku sudah siap
untuk berangkat. Hanya saja aku dibuat ragu oleh keteledoranku. Pesanmu terlewat
untuk kubaca. Pesan berisi waktu pertemuan. Aku seperti acuh, malah duduk
santai menunggu kabar darimu. Coba saja kamu tidak bilang “8 to 14”, mungkin aku bakal semakin berlama-lama di rumah. Itu pun
kepekaanku seakan lenyap, aku masih belum terlalu paham maksud kalimat itu
sampai dirimu mengingatkanku dengan lebih pasti.
Seketika aku selayaknya orang
yang baru bangkit dari kematian. Aku kaget bukan main. Tanpa berpikir panjang
lagi, aku langsung bergegas mencarimu. Berharap detik tidak berlalu dengan
cepat agar aku bisa mengejar dan tepat waktu. Akan tetapi keinginanku pupus,
aku telat. Sekian menit yang berharga dengan mudahnya kubuang percuma. Aku
sungguh menyesal.
Kamu menyambutku dengan senyum
yang tetap istimewa. Kamu tidak begitu mempermasalahkan salah yang aku perbuat.
Kita tetap hangat kala itu. Kemudian kita duduk di kursi panjang lengkap dengan
mejanya. Aku mengeluarkan laptop untuk melanjutkan sesuatu yang bisa kusebut
sebagai tanggung jawab. Percakapan yang terjadi hanya sedikit, sebab pada
akhirnya kita sama-sama sibuk sendiri setelah kamu mengeluarkan laptop juga.
Sesekali aku mencuri pandang.
Tidak terasa, waktu berjalan memaksa
kita untuk berpisah lagi. Aku tidak mengerti mengapa setiap bersamamu waktu
seolah menjadi lebih ringkas, sementara saat jauh darimu waktu menjadi lebih
panjang. Buah dari itu, aku merindukanmu.
Jika cinta hanya menjadi semoga, jangan sampai ia membawa pada kegiatan pelarian yang salah.
Dan kini kubiarkan saja semuanya
berjalan sesuai masanya. Semoga saja itu bukan pertemuan terakhir kita. Aku
masih menyimpan harap untuk dapat berjumpa lagi meski saat ini kutahu semua
sudah berbeda. Terlepas dari itu, aku berusaha menyangga perasaan ini agar tak
berujung salah. Mencoba membunuh harap.
Terkadang kuanggap diriku serupa
sebatang lilin di atas kue ulang tahun. Kau padamkan aku, lalu semua raga
bertepuk tangan gembira. Aku hancur.