Hay, perkenalkan aku si hitam dari
pulau seberang. Ingin bercerita sebuah cerita yang berasal dari temanku yang
sering kali mendapat hadiah (palsu). Aku akan menceritakan sebagian ceritanya
dengan menggunakan sudut pandang aku sebagai dirinya. Kuharap kau mengerti.
Baiklah kita mulai.
Hal
buruk. Aku berani jamin tidak ada yang ingin mendapatkannya walaupun secara
gratis sekalipun. Yah, termasuk aku. Sungguh, aku benci dengan hal-hal yang
membuat diriku tidak nyaman. Tapi aku tersadar, ini hidup, mau tidak mau aku
pasti akan mengalaminya.
Siapa
mengira kebaikan akan memberikan hal baik juga dan menghindari siapa pun dari
hal buruk. Salah! Salah besar! Kebaikan juga dapat mendatangkan petaka bagi
yang melakukannya. Contohnya seperti aku yang tak berdaya ini.
Rasa
dengki, iri, benci, dan kawan-kawannya bisa membuat seseorang menjadi gelap
mata meskipun kebaikan selalu diberi lawannya. Mungkin, karena tidak berani
mengemukakan perasaannya melalui komunikasi, jadi rasa yang amat menyiksa itu
justru mengendap dan mendarah daging di tubuhnya, bisa dibilang seperti parasit
yang haus akan sebuah tindakan balas dendam.
Ah,
tau apa aku tentang hal ini. Apakah aku hanya kebanyakan nonton sinetron atau
membaca novel ba-bi-bu itu? Dan jawabannya adalah, aku tidak tau! Kayaknya aku
cuma sok tau. Sebenarnya tidak, aku tau ini, aku tau semua tentang hal ini, ya,
aku tau karena aku pernah mengalaminya, sebagai korban.
Please,
kalian tidak perlu syok gini. Kalau mengizinkan, aku akan bercerita sedikit
mengenai pengalaman pahit yang kualami.
Kebaikan
yang aku berikan secara tulus ternyata dipandang sebelah mata. Aku sih heran.
Kenapa kebaikan itu dinilai keburukan dan ancaman bagi mereka?. Aku tidak tau,
kali ini benar-benar tidak tau.
Tidak
sekali, atau dua kali, tapi tiga kali. Bayangkan? Apa sih yang membuat pikiran
mereka jadi seperti itu? Apa tidak ada jalan lain untuk memperbaiki hati mereka
yang compang-camping? Apa harus mereka melakukan tindakan keji untuk kawannya
yang sebenarnya lawan baginya? Sudahlah, aku bukan orang yang gampang memasuki
pikiran orang lain dan membaca setiap kebusukan yang ada.
Untuk
saat ini aku hanya bisa mengelus dada dan bersabar. Aku tidak pernah memandang
kejahatan mereka sebagai kejahatan ataupun ancaman. Aku akan seperti aku
sebelum mereka melakukannya.
Aku
percaya, sisi putih dalam hitam masih bisa berkuasa menjernihkan hati mereka
yang memekat. Aku percaya, semua akan baik-baik saja. Aku percaya, aku tetap
mencintai kalian seperti sedia kala.
Apa
aku harus mengakhiri cerita ini? Aku tau kalian belum puas atas apa yang sudah
aku tulis. Jadi, baiklah akan kuteruskan cerita yang tidak bahagia ini sebagai
bacaan untuk kalian yang hanya kepo, bukan peduli.
Berawal
dari masuknya aku pada usia 17 tahun. Ah, aku sungguh lemah sehingga apa pun
bisa mudah memengaruhiku. Kulitku jadi melepuh haha... badanku jadi
berbintik... kejadiannya menyakitkan.
Dan,
setahun lamanya aku terbebas dari kutukan itu, akhirnya aku dapat istirahat.
Tapi istirahat itu membuatku lengah dan ya begitulah... aku kena lagi.
Langganan. Kali ini sih bukan berhubungan dengan kulit tak sehatku, namun
berhubungan dengan pencernaan. Pencernaan? Sebenarnya sih aku cukup bingung dan
asdfghjkl. Juga demam yang tak turun-turun berhari-hari, bukan! Maksudku
berminggu-minggu. Cukup, aku tak mau mengingat lagi. Intinya sih rasanya sakit.
Amat.
Apa
aku harus mengakhiri cerita ini? Iya, kali ini aku benar-benar ingin mengakhiri
cerita yang sebenarnya tak patut aku ceritakan. Sebaiknya, aku menceritakan
betapa bahagianya diriku bisa mengenal kalian sebagai seseorang yang baik. Aku
tak pernah memandang diri kalian dalam kegelapan. Karena kutahu, itu hanya
kekhilafan kalian semata. Aku mencintai kalian, sobat.
Begitulah sebagian kecil cerita
dari temanku itu. Aku sih tak tau persis bagaimana kejadian yang sesungguhnya.
Aku juga masih belum ngeh dengan ceritanya yang terdengar ambigu. Atau aku saja
yang bloon, bodo, idiot.
Sudahlah, kita lanjut dilain waktu
saja, ya. Salam dariku dan temanku itu.