TRULULULULUT....
TRULULULULUT
“Omi,
telepon tuh,”
Omi
buru – buru mendekatkan telinganyanya pada gagang telepon.
“Halo?,”
“Benar
ini dengan Rohmi Saofiah?,” seseorang menjawab dari ujung telepon.
Omi
diam beberapa detik, “Ya. Ini siapa, ya?”
“Nanti
juga kamu bakal tahu siapa saya,” pria yang menelepon itu tidak mau memberikan
identitasnya, “Kamu datang saja nanti malam jam sepuluh ke Mall di pusat kota.”
“Lho...
emang ini siapa, sih? Terus kenapa saya disuruh ke sana?,” katanya penuh tanda
tanya. Lipatan di keningnya menandakan bahwa Omi sedang berpikir keras.
“Kamu
dapat tiket liburan gratis ke beberapa negara Eropa untuk enam orang.”
“Perasaan,
saya tidak pernah ikut kuis, undian atau semacamnya,”
“Memang.
Tapi takdir rupanya memilih kamu,” Agak lama mereka dalam keheningan. “Bisa
berbicara dengan orangtua atau temanmu atau siapa pun yang ada di dekatmu
sekarang?.”
Omi
menoleh ke arah Lysya. “Nih, ada teman saya,”
“Lysya,
ada yang mau ngomong sama kamu,”
“Siapa?”
tanya Lysya.
Tak
ada suara yang keluar dari mulut Omi. Ia hanya mengangkat bahunya menandakan ia
tidak tahu siapa yang berbicara dengannya
melalu telepon sedari tadi.
“Iya,
halo?” Lysya angkat bicara.
Lysya
dan orang di balik telepon itu berbicara cukup lama. Entah apa saja yang
dibicarakan mereka. Hingga akhirnya gagang telepon telah kembali pada posisi
semula. Perbincangan mereka sudah ditutup.
“Dia
bilang apa?” selidik Omi.
Belum
ada jawaban.
“WOYY!,
apa saja kalian bicarakan? Dan siapa dia?
Rupanya
Lysya tenggelam dalam lamunannya. Dengan tepukan tangan di depan matanya, Lysya
pun tersadar.
“Ehhh..
emmm.. Tadi. Mmmm, tadi itu. Jujur aku juga tidak tahu siapa dia. Cuma tadi
orang itu bilang kita dapat tiket gratis gitu, tapi kita harus bisa
menyelesaikan misi darinya. Katanya sih, kita disuruh cari clue di Mall,”
“Mall
yang di depan halte?” potong Omi. “Terus kamu percaya dan mau?” sambungnya.
“Awalnya
sih nggak percaya. Tapi ...”
“Akhirnya
kamu percaya juga, gitu?”
Lysya
memanggutkan kepalanya perlahan. Kemudian ia duduk di atas spring bed persis di samping Omi, sahabat perempuannya sejak kecil.
Omi menggerakkan badannya, begitu pula Lysya, kini mereka berhadap – hadapan.
“Kalau
kamu nggak setuju sih, nggak apa-apa, Mi.” Lysya menghela napas panjang.
Dengan
wajah sedikit sedih sepertinya mampu merubah keputusan Omi yang sebenarnya
menolak keras ajakan itu. Bibirnya mulai menyimpulkan senyum yang sempat hilang
dari dirinya. Omi mau melaksanakan misi yang akan mereka jalani, berenam.
ᴥᴥᴥ
Titik
– titik air mengiringi perjalanan mereka, airnya terasa masam di tanah yang
kusam. Langit rupanya ingin memeras habis segala yang telah lama ditampungnya.
Gerimis tak mau berhenti, melicinkan aspal dan membuat genangan di beberapa
jalan berlubang.
Lucky
melajukan mobilnya di tengah kegelapan. Sangat hati – hati. Di samping Lucky,
Omi duduk tanpa bisa melepas pandangannya ke arah depan. Sementara itu Lysya
duduk bersama Fariz di belakang kursi mereka dan Ryan beserta Anggi duduk di
jok paling belakang.
Sesuai
perintah. Sebelumnya, Lysya dan Omi telah menghubungi sahabat mereka yang lain
itu untuk ikut melaksanakan misi ini. Berenam.
Malam
sudah semakin lekat, sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tujuan. Anggi
mengecek jam tangannya, pukul 10:08. Mereka sudah terlambat delapan menit, tapi
Lucky tetap tenang menyetir mobil pribadi pemberian orangtuanya.
Pukul
10:15. Mobil berhenti di area parkir gedung paling atas. Gerimis masih setia
membasahi heningnya malam ditemani petir yang terus menggelegar.
Mereka
sudah turun dari mobil dan segera masuk ke dalam pusat perbelanjaan terbesar di
kota tempat mereka tinggal.
“Kita
disuruh nungguin sampai Mall tutup, nih.” Kata Lysya.
“Lah,
gimana bisa, yang ada malah kita disuruh pulang sama security di sini.” Gerutu Lucky.
Memang,
saat ini masih ada keramaian di dalam Mall. Orang – orang sibuk dengan
aktivitas mereka, ada yang sibuk membawa barang belanjaan mereka atau ada juga
yang sekadar berkunjung tanpa berniat untuk membeli apa pun.
“Kita
disuruh bersembunyi di dalam toilet,”
“Gila!”
timpal Fariz, “Nggak ada cara yang lebih sinting lagi?” sindirnya halus.
“Tapi,
mau gimana lagi, ya? Kita sudah terlanjur datang ke mari,” sahut Ryan
Anggi
sedikit kesal melihat percekcokan kecil diantara teman – temannya. Ia lebih
memilih membisu dan duduk di salah satu kursi panjang.
Sedangkan
Omi memerhatikan teman – temannya itu seraya menggigit jari telunjuk kanannya.
“Oke, saya juga ikut nunggu. Percuma saya sudah capek datang ke sini, malam
pula.” Omi pun kemudian bergerak mendekati Anggi, duduk di sebelahnya. “Nggi,
jam berapa?”
Di
antara mereka, hanya Anggi yang menggunakan jam tangan. Jam itu melingkar indah
pada pergelangan tangan kirinya. “Jam sebelas,” jawabnya.
“Kita
sembunyi sekarang saja!” ajak Ryan. Kebetulan dari loudspeaker yang terpasang di setiap sudut Mall sudah menginformasikan
bahwa sebentar lagi Mall akan tutup.
Sedikit
tergesa – gesa, mereka langsung bergegas menuju toilet di lantai paling atas.
Beruntung. Tidak ada petugas yang menjaga toilet itu. Mereka lalu bersembunyi
di salah satu bilik di toilet khusus pria, paling ujung.
Tiba
– tiba bola ajaib yang selama ini menerangi ruangan ini dalam kegelapan telah
dipadamkan. Hitam. Omi memejamkan matanya erat – erat, takut menghadapi suasana
pekat seperti ini. Untung saja masih ada sinar dari layar LCD gadget mereka
yang setidaknya memberikan secuil harapan untuk dapat melihat dan berjalan
tanpa meraba.
“Ada
sms masuk nih,” bisik Lysya.
“Baca,
cepetan.” Omi sepertinya sudah tidak sabar ingin menyelesaikan semua ini agar
ia dapat segera kembali ke rumah.
Kalian bisa keluar sekarang. Clue
pertama ada di lantai satu di tempat persembunyian. Hati – hati ada clue
jebakan. Usahakan supaya kalian tidak berpencar!
Semua
menyimak pesan masuk dari seseorang yang masih misterius.
Mereka
semua berjalan mengendap – endap, khawatir kalau ada seseorang yang masih ada
di dalam Mall tersebut. Kosong. Berarti mereka sudah aman.
Cahaya
dari gadget itu hanya mampu menerangi sebagian kecil ruangan. Satu demi satu
anak tangga mereka turuni dengan lambat, karena jika salah melangkah mereka
bisa celaka. Cukup melelahkan memang, mereka harus turun dari lantai delapan ke
lantai dasar.
Semua
kebingungan, apa yang dimaksud lantai satu di tempat persembunyian?
“Sepertinya
aku tahu,” tebak Anggi. Lalu ia melangkahkan kakinya menuju tempat di pojok
ruangan lantai satu. Toilet.
“Kok
toilet?” tanya Lucky.
“Eh,
ini ada amplop!.” Rupanya Lysya menemukan clue
terlebih dahulu, di dekatnya juga disediakan enam senter. Mereka mengambil
senter itu masing – masing.
Temukan surat cinta di penjara.
“Apa
maksudnya?” Ryan mengernyitkan dahinya.
“Mungkin
di tempat bermain?” Omi menyahut.
“Nggak
mungkin, pintunya pasti dikunci.”
“Kita
mikirnya sambil jalan saja!” usul Fariz.
Setiap
pasang mata mereka sibuk mengedarkan pandangannya seiring dengan arah lampu
senter menyorot. Tiba – tiba saja, kaki Omi menjejak ke sebuah palu berkarat
sehingga ia langsung tersandung jatuh. “Aduh!” Teriakannya memecah kesunyian.
“Sialan!” ia segera bangkit kembali.
“Kamu
nggak apa – apa?” Lucky terkejut, ia menyodorkan tangannya hendak membantu Omi
untuk bangun.
“Nggak
kok. Kesandung doang, Luck!”
Fariz
melihat musibah yang menimpa salah satu temannya. Ia menyipitkan matanya, “Itu
palu?” Kemudian ia jongkok sambil menjulurkan tangannya guna mengambil palu
yang berhasil membuat Omi terjerembab ke lantai. “Ini berkarat sekali,” matanya
terus memerhatikan benda yang kini berada di genggamannya, “Eh, lihat deh! Ini
darah nggak, sih?!”
Di
ujung bagian palu yang berfungsi untuk membuka paku yang telah tertancap,
terdapat bekas darah kering yang tidak kering – kering amat. Fariz mencium
aromanya, amis. Sangat amis. Ia langsung melempar palu itu hingga membentur
gerbang trali besi pemisah antara Mall dengan wahana air yang menjadi satu
paket di dalam Mall sebagai hiburan.
TREENNNGGG!!
Keenamnya
menutup telinga, berusaha mengecilkan suara nyaring yang ditimbulkan akibat
benturan palu itu dengan trali.
“Penjara!”
Anggi berlari kecil ke arah berhentinya palu itu, “Ya, inilah penjara yang
dimaksud!”
Semula,
mereka sempat heran. Tidak ditemukan apa pun di ‘penjara’ yang dimaksud.
“Ini
salah, ini salah,” kata Ryan.
“Apa
maksudmu?”
“Kita
sudah mengambil clue yang salah!”
Ryan mulai menerka. “Ingat kata – kata: ‘ada clue jebakan’ itu?” tarikan napasnya terdengar begitu berat. “Kita
harus kembali ke toilet tadi!” perintahnya.
Fariz
menatap mata teman – temannya, “Saya sama Omi saja yang ke sana. Kalian tunggu
di sini!”
Tubuh
Omi terlihat agak terlonjak, kaget, “Lho, kenapa saya? Saya nggak berani!!”
tolaknya mentah – mentah.
“Ayo,
Mi. Kamu mau pulang ‘kan?” rayu Lysya.
“Iya.
Tapi kenapa harus saya?” tolaknya lagi. Namun lambat laun, ia menerima dengan
keterpaksaan.
Omi
dan Fariz berjalan berdua beriringan. Jarak antara toilet dengan tempat teman –
teman mereka sekarang cukup jauh. Di belakang Fariz dan Omi hanya ada gulita,
sedikitpun tak ada cahaya. Fariz yang memimpin jalan.
Mereka
melangkah masuk dengan sikap penuh waspada. Sempitnya lorong toilet membuat
nyala senter terkesan bekerja maksimal sehingga suasana lebih terang.
“Fariz,
di mana cluenya?”
“Coba
cari dulu aja,” mata mereka amat liar mencari sesuatu yang membantu mereka
menyelesaikan misi ini.
ᴥᴥᴥ
Segalanya
telah berubah lebih buruk. Tidak seharusnya mereka berpencar. Ryan tersadar,
“Saya harus menyusul mereka!”
“RYAN!
MAU KEMANA KAMU!?” teriak Anggi.
Tak
dihiraukan. Ryan terus melangkah dan kemudian menghilang ditelan kegelapan.
Sementara
itu, Fariz mencari – cari clue di
toilet pria sedangkan Omi di toilet wanita. Tetapi saat Fariz hendak
memperbaiki posisi kacamatanya, kepalanya dihantam balok kayu. Fariz
terjerembab. Kacamatanya jatuh, namun untungnya tidak pecah. Senter yang
dipegangnya seketika mati begitu terbentur lantai.
Darah
mengucur dari pelipisnya. Penglihatannya semakin suram. Seseorang menendang
badan dan kepalanya. Fariz terbatuk – batuk sambil terus meraba lantai berharap
kacamatanya ketemu.
Fariz
telah menemukan kacamatanya, saat itu juga sinar lampu senter menerangi
lokasinya terduduk.
“Fariz?
Kepalamu kenapa?,”
“Tadi
ada yang memukulnya pakai.... saya nggak tau benda apa yang menghantam kepala
saya,” Omi menyimak penjelasan Fariz, “Terus ada yang menendang saya juga.”
Omi
mulai terlihat ketakutan. “Ayo, kita harus cepet ke teman – teman. Saya sudah
menemukan clue ini.”
Omi
merangkul tangan Fariz. Kali ini, Omi-lah yang menuntun jalannya. Di ujung
sana, tak sengaja mata Omi melihat seberkas cahaya. Rupanya, Ryan. Ia bertindak
mencurigakan. Sedikit lagi, Omi dan Fariz sampai di tempat teman – temannya
menunggu.
“Kamu
bisa jalan sedikit lagi ‘kan? Saya mau ke sana sebentar,”
“Tapi,
Mi.... OMIII!!” Panggilannya tidak dipedulikan.
ᴥᴥᴥ
Tak
sulit menemukan Ryan lagi. Meski posisinya sekarang sudah lumayan jauh dari
tempat saat ia melihatnya tadi. Terlihat wajah Ryan menunjkkan ekspresi sinis
dan dingin. Omi menepuk pundak temannya itu.
“Hyyaaaatt!”
Dengan jurus bela diri yang dikuasainya, Ryan hendak menyerang Omi. “Eh, Omi,
maaf. Saya kira kamu siapa.”
“Kamu
ngapain di sini?”
“Ngga
ada,” mata Ryan sedikit memerah, ia
menelan ludah. “Kamu balik saja, ntar saya nyusul.”
Omi
menatap Ryan tanpa pernah berkedip. Ia langsung menuruti perintah Ryan untuk
kembali menemui teman – temannya yang lain.
Kepala
Fariz semakin mengalirkan darah kental dengan derasnya. Mimik muka setiap orang
yang sedang terduduk lemas terlihat nampak khawatir bercampur rasa takut.
“Saya
ambil tisu dulu di kamar mandi,” Lucky bangkit dengan sigap. Ia langsung
bergegas menyusuri komplek pertokoan di Mall tersebut.
Lysya
ikut berdiri. “Saya ikut!”
“Nggak
usah!” Di kejauhan, tubuh Lucky hanya terlihat seperti siluet dan semakin lama
semakin tidak terlihat.
Lucky
terpeleset karena lantai yang licin, bekas darah.
“Ryan?”
“Lucky,”
Lucky
mencurigai gerak – gerik Ryan. Ia memerhatikan seluruh bagian tubuh Ryan mulai
dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Noda merah di lengan baju Ryan menambah
kecurigaannya. Terlebih saat ia mengendus noda itu. Anyir sekali.
Dengan
nada terbata – bata, Lucky mulai angkat bicara, “Ini darah siapa?”
“Hah?
Darah?” Ryan kaget bukan main ketika ia menyaksikan darah di lengan bajunya.
“Kamu
jangan pura – pura lagi, Yan” Lucky mundur beberapa langkah. “Ini darah si
Fariz ‘kan?” tuduhnya.
“Maksud
kamu apa?. Saya nggak selicik itu! Dari tadi saya di... Saya baru saja di
sini.”
Tetapi
Lucky tak lantas memercayai alasan Ryan. Apalagi Ryan tampak mendelik ngeri. Ia
lebih memilih untuk terus mundur hingga pintu berderit melebar.
“Tolong.
Percaya dengan saya. Saya tidak pernah melakukan apa – apa terhadap Fariz,”
suara Ryan bergetar. “Saya sama sekali nggak tahu apa yang sudah terjadi selama
saya pergi.”
“BOHONG!!”
Tangan Lucky menyentuh dinding, dan menemukan palu yang ternyata adalah palu
yang sebenarnya ada di trali itu.
Tanpa
berpikir terlalu lama, Lucky hendak mendaratkan palu itu ke kepala Ryan. Namun,
Ryan berhasil menepis dan merampas palu itu.
“Please,
trust me. I never did odd thing. Apalagi sampai ada darah.”
“Blood
spots on your sleeve is clear enough to give evidence.”
Merasa
semakin dipojokkan, pikiran Ryan mulai melayang dan tidak bisa dikendalikan.
Dia takut akan terjadi sesuatu dengannya. Mara sudah mengintai. Mara sudah berada di atas kepala, keduanya
berkelahi cukup sengit.
Kepalan
tangan Lucky berhasil mendarat dengan sempurna di pipi Ryan. Ryan tidak terima,
ia membalas perlakuan yang ia terima dari Lucky. Palu yang ditemuinya sedari
tadi masih berada di tangannya. Refleks, ia langsung memukulkan palu itu di
kepala Lucky.
“Aaaakkkkkkhhhhh....”
Lucky merintih nyeri. Kepalanya memuntahkan darah segar yang amat kental.
Bukannya
berhenti, Ryan malah semakin menjadi – jadi. Melihat kondisi Lucky yang semakin
tidak berdaya, justru memberikan ruang untuk Ryan meneruskan tindakannya. Palu
itu didaratkan berulang – ulang ke wajah Lucky, hingga retak dan wajah Lucky
tidak bisa dikenali lagi.
Belum
puas, Ryan melanjutkan kegiatan membunuhnya dengan menyobek leher Lucky
menggunakan ujung pembuka paku pada palu tersebut. Kulit leher Lucky terlepas
bersama dagingnya. Akibatnya, tulang lehernya terlihat sangat jelas.
Menjijikkan!
Darah
tidak pernah ragu untuk terus mengalir membasahi lantai lembab berwarna pudar.
Sementara
itu, di luar, awan mendung masih menggantung di langit, masih bercengkerama
dengan petir, dan masih mengucurkan keringat – keringat hujan yang berubah
merah.
Menyadari
Lucky tidak kunjung datang, Anggi menyusul. Keadaan Fariz kian melemah.
Pendarahan hebat di pelipisnya membuat tubuhnya memucat. Putih pasi.
Lysya
tak tega melihat Fariz, ia juga tak tega melihat Anggi pergi mencari Lucky
sendirian. Ia meminta agar Omi menemani Fariz sampai mereka kembali.
“Fariz,
kamu dehidrasi?” tanya Omi.
Fariz
hanya mengangguk.
“Tunggu,
ya. Biar saya ambilkan di tas saya. Tas saya tertinggal di toilet atas.”Omi
langsung meninggalkan Fariz.
ᴥᴥᴥ
“Hoek!”
Lysya mual. Mayat Lucky sangat mengenaskan. Di sampingnya Anggi sudah duduk
sambil memegang palu yang telah menghujam Lucky berkali – kali.
“Lys,
ini nggak seperti yang kamu bayangkan...”
“Nggak.
Ini sudah nyata banget. Saya nggak nyangka kamu bisa setega itu membunuh
Lucky!”
“Ya
ampun, Lysya. Ini salah paham. Saya ke mari sudah menemukan Lucky dalam kondisi
seperti ini,” Anggi berlinang air mata.
“Saya
benar – benar nggak nyangka, Nggi.”
“Lys...
Lysya... LYSYA!!!!” Lysya langsung cabut ketimbang harus menjadi korban
selanjutnya dan menyusul Lucky, pikirnya.
Namun,
nahas. Lysya menemui Fariz sudah tidak bernapas lagi. Ruh sudah keluar dari
tubuhnya. Matanya terbelalak lebar.
Lysya
begitu shock dan tidak kuat
melihatnya. Leher Fariz kelihatan patah, dan mulutnya telah disumpali oleh
botol air mineral ukuran besar membuat rahangnya patah dan mengeluarkan darah
bercampur liur.
Sementara
itu, seseorang tiba – tiba menjambak rambut Anggi. Anggi meronta, menjerit
kepedihan. Orang itu menyeret Anggi menaiki eskalator yang telah dimatikan.
Lantai
empat..
Seseorang
dengan topeng barong mencekik kuat leher Anggi sehingga ia tak bisa bernapas.
Matanya semakin melotot.
Sepertinya,
Anggi diberi kesempatan menikmati segarnya udara dini hari ini. Dingin tak mau
berpaling merayapi malam.
Kabel
panjang di pinggir pembatas kaca diambil orang bertopeng itu, lantas ujungnya
dililit ke perggelangan kaki Anggi sedangkan ujung yang lainnya dililit ke
salah satu tiang baja.
Tak
ada sedikitpun keraguan orang itu untuk melakukan apa saja yang dia inginkan.
Anggi dihempaskan sampai kepalanya membentur lantai.
BUG!!
CLEEEPP!!
Ternyata
di atas lantai itu sudah disediakan puluhan paku yang siap menusuk apa pun yang
berani mendekatinya, termasuk kepala Anggi. Paku – paku itu sudah bersarang
menembus tengkorak kepala perempuan malang itu. Tubuhnya mengejang dan lehernya
tercekat tak bisa menghirup udara sedikitpun.
“Lysya?”
Omi menjatuhkan botol air mineral dari tangannya. “Apa yang sudah terjadi?”
Hanya
ada isak tangis yang menjawab pertanyaan Omi..
“Fariz?,
Fariz kenapa?” tanyanya sekali lagi.
“Kamu
sudah ke mana, Omi?” malah Lysya bertanya balik. “Kenapa kamu tinggalin Fariz
sendiri!” Lysya nampak susah mengatur emosinya, “Lucky sudah mati! Anggi telah
membunuhnya!”
“Apa?”
Omi menjatuhkan keningnya ke pundak Lysya. Ia tampak terpukul mendengar berita
buruk itu. Niat mereka yang ingin memeroleh tiket gratis berubah menjadi
malapetaka.
Lysya
merogoh kantong celana jeansnya. Mengambil gadget. Ada empat pesan singkat yang
masuk.
Pesan
pertama: Lucky!
Pesan
kedua: Fariz!
Pesan
ketiga: Anggi!
Pesan
keempat: Kalian harus menyelesaikan
semuanya. Atau kalian akan menyusul mereka!
“Omi,
kita harus menyelesaikan permainan ini. Buruan!”
“Saya
sudah dapat clue yang benar. Tapi saya
belum membacanya.”
Tasku adalah tasmu. Terselip di
dalam bunga yang tetap indah walau sudah habis masanya.
“Swear!
Saya tidak paham dengan ini.” Lirih Omi
“Kita
harus yakin bisa menyelesaikannya. Coba periksa tas – tas ini.”
Mereka
menggeledah tas – tas bawaan mereka. Lysya membongkar tas Anggi, ia menemukan
gincu dengan motif bunga pada tutupnya. Dibukanya tutup lipstick tersebut. Bongkahan lunak yang digunakan untuk mewarnai
bibir sudah habis, digantikan oleh secarik kertas lusuh.
Cahayanya oranye, menggantung di
angkasa.
“Matahari?”
Omi
ikut membaca, “Sepertinya saya tahu kiasan ini,”
“Saya
ragu, Omi. Ryan sepertinya menjebak kita.”
“Maksud
kamu?” diam beberapa saat, “Ryan yang meng-setup
semua ini?”
“Feeling
saya sih begitu. Dia kemana coba? Teman – teman kita sudah mati!”
“Nggak.
We need to think clearly!” Omi meyakinkan. “Kita harus selesaikan semua ini.
Somehow!” tegasnya.
Mereka
lalu menuju tempat yang akan memberikan clue
berikutnya. Di Mall ini, di setiap sudut temboknya. Tergantung lentera antik
yang hanya dinyalakan saat hari – hari tertentu saja.
Lebih
ke atas lagi, ada tembok yang catnya berbeda. Wallpaper luar angkasa. Salah satu lentera juga tergantung di sana.
Dari kejauhan terlihat amplop emas tertempel di bawahnya. Buru – buru, Omi dan
Lysya mengambilnya dan membaca tulisan yang tercetak pada kertas di dalamnya.
Final!
Di mana kamu. Di situ ada saya.
Di mana kamu bersembunyi. Di situ
ada saya.
Lampu telah mati.
DEG!
DEG!
Mereka
amat terkejut membaca untaian kata itu. Mereka langsung melihat ke sekeliling.
“Saya
paham! Toilet tempat kita sembunyi tadi! CEPETAN! Sebelum kita jadi korban
berikutnya,” Omi mulai was – was.
Sesampainya...
Lysya
hendak membuka pintu bilik toilet, namun tertunda sesaat karena gadgetnya
bergetar.
Pesan
singkat: RYAN!
KRIIIIEEEEEKKK...
AAAAAAAA....
AAAA..
Perut
Ryan telah terbuka lebar, bekas guntingan. Ususnya licin terurai ke bawah
tubuhnya. Posisi Ryan duduk tegak di atas closet duduk. Bola matanya tidak ada
di sekitaran mukanya. Bola mata itu bergelinding mengenai sepatu Lysya.
PROK
PROK PROK...
“Selamat
datang di permainan ini,” Omi menyeringai lebar.
Lysya
sempat menghajar dan menampar wajah Omi sebelum ia berhasil melarikan diri. ia
bersembunyi di dalam bilik toilet di lantai dua.
Omi
dengan penuh kesabaran terus mencari keberadaan Lysya.
“Lysya...
Main yuk!” Suara Omi terdengar sampai ke rongga telinga Lysya. Omi sekarang
berada di dekatnya, sedikit lagi akan menemuinya.
Ada
lima bilik di toilet wanita itu. Bilik pertama, Lysya tidak ada. Bilik kedua,
masih tidak ada. Bilik ketiga, tetap kosong. Bilik keempat, hanya ada closet
dan ember hijau.
Napas
Lysya semakin memburu. Kedua tangannya menutup erat mulutnya agar suara napas
itu tidak terlalu besar. Ia mengintip dari sela – sela daun pintu, dan segera
menarik matanya saat terlihat bayangan tubuh Omi mulai mendekat.
Perlahan
namun pasti, Omi membuka pintu bilik itu.
Bilik
kelima.......... KOSONG!
Rupanya,
Lysya lebih dulu kabur melalui bagian renggang di bawah papan yang memisahkan
antarbilik dengan cara merangkak. Lysya keluar dari bilik pertama. Ia lari
menggunakan sisa – sisa tenaganya.
Omi
di belakang Lysya membawa sebilah kapak tajam setajam tatapan matanya. Dia tampak
tenang mengikuti arah Lysya pergi.
“Lysya....
Temenin aku main sebentar aja.”
Lysya
tidak mau terpengaruh. Tapi, tali sepatunya yang terlepas membuat kakinya
terkilir dan ia pun jatuh terjerembab di atas lembabnya lantai.
Melihat
kesempatan berharga itu, Omi langsung menyerang. Rambut Lysya ditarik hingga
badan Lysya dalam posisi berdiri lagi namun agak jinjit sedikit.
“Mohon,
lepasin saya... Mohon..”
Bukannya
kasihan, Omi malah memenggal kepala Lysya. Dua kali ayunan kapak itu berhasil
memisahkan kepalanya dengan badannya. Tidak
hanya sampai di situ, Omi juga memotong – motong tubuh Lysya, dan memotongnya
lagi hingga menjadi bagian yang lebih kecil.
ᴥᴥᴥ
Pria
bertubuh cukup kekar mendatangi Omi. Jhovy, nama pria itu.
“Kamu
memang pintar, anak buah.” Ucapnya. Ternyata dia adalah bos dari Rohmi Saofiah.
Mereka
memang sudah merencanakan ini semua. Mulai dari awal telepon itu berdering!
Orang
yang menelepon itu tak lain adalah Jhovy. Sementara itu, Omi-lah yang menyiksa
Fariz di toilet dan darah Fariz dilapkan dari tangannya ke lengan baju Ryan
saat ia memukul pundak temannya itu. Kemudian semua orang ia bunuh!.
Jasad
– jasad malang dimasukkan ke dalam karung plastik hitam besar. Seluruh bercak
darah dan sidik jari korban mereka, mereka bersihkan bersama – sama, agar tak
menyisakan jejak. Bosnya kemudian menyeret karung itu ke dalam mobil box. Salah
satu kunci pintu Mall memang ada di tangan Jhovy, karena Jhovy merupakan salah
satu staff di Mall tersebut dan bisa
kapan saja memegang kunci Mall.
ᴥᴥᴥ