Surya
kini berada di garis horizon. Nampak segerombolan merpati terbang bebas bersama
sang lazuardi yang tadinya berwarna biru kini berwarna jingga. Dengan tenangnya senja ternyata telah
berganti malam. Kali ini malam tak semeriah malam-malam biasanya. Sendiri,
tanpa bulan apalagi bintang. Mendung. Dinginnya udara malam menemani malam yang
begitu gelap pekat. Cuaca rupanya tak bersahabat.
“Sekarang
kita kemana?” Suara Rozi memecahkan keheningan malam.
“Terserah,”
jawabku super simple
“Kita
pulang aja yuk,” Tania memutuskan. “Lagian ini kan sudah malam.” Jelasnya.
“Baiklah”
Bang Joe menyetujui saran dari Tania. Dia juga kasihan melihat Mbak Julie
–istrinya– yang kelelahan hingga tertidur di dalam mobil sambil tetap
menggendong tubuh mungil Kaara –anak ketiganya yang masih balita–.
Gas
telah diinjak, setir mobil pun telah dimainkan. Mobil melaju dengan kecepatan
rata-rata. Menyusuri kota. Melewati jalan yang berliku.
“Eh,
itu bukannya si Nuke?” Aku merasa seseorang yang aku lihat itu pernah aku dan
kami semua kenal, namun sudah lama ini kami tak pernah bertemu dengannya. “Aku
yakin itu Nuke”.
Refleks
kaki Bang Joe menginjak rem mobil. Decitan ban dengan aspal terdengar sampai ke
telinga kami, bahkan mampu membangunkan tidur Mbak Julie, untung saja Kaara
masih nyaman dalam pelukan ibunya.
Bang
Joe membuka kaca mobil dan berteriak memanggil Nuke.
“NUKEE!!”.
Tak didengar.
“NUKKKKEEEEE!!!”
Kali ini teriakannya semakin kencang, dan tentu saja berhasil menembus indera
pendengaran Nuke. Ia menoleh. Langkahnya terhenti sejenak sambil terus
memerhatikan kami. Ia jalan mendekat.
Nuke
tersenyum melihat kami semua. “Bang Joe, Mbak Julie, Firdi, Tania, Rozi. Kalian
mau kemana?”
“Kita
baru saja mau pulang nih,” terang Mbak Julie menjawab pertanyaan dari Nuke.
“Lha, kamu sendiri mau kemana? Malam begini, terus jalan sendirian,” Mbak Julie
balik bertanya.
“A..
A.. Aku baru saja mau pulang juga nih”
Aku
langsung melihat kedua bola matanya. “ Rumah kamu di mana sekarang?"
“Ngga
jauh sih dari sini”
“Kalau
begitu, biar kami antar kamu” tawar Bang Joe. Nuke tidak mengeluarkan sepatah
kata pun, ia hanya mengangguk, tanda ia menerima tawaran tersebut. “Rozi, kamu
pindah ke belakang!” perintah Bang Joe.
***
Mataku
tak sengaja memerhatikan bibir Nuke yang bergerak cepat. Suatu gerakan layaknya
seseorang yang sedang membaca, tapi entah apa yang dibaca olehnya. Aku mencoba
berpikir positif. Tetapi tiba-tiba mobil yang kami kendarai terhenti. Bang Joe
keluar dari mobil, rupanya ia melihat-lihat dan akan memperbaiki mesin mobil
yang bermasalah.
“Kenapa,
Bang?” Tanya Tania khawatir
“Mogok
nih”
Rozi
celingak-celinguk ketika keluar dari mobil. “Eh, ada rumah tuh!, Coba ke sana
aja dulu, kan siapa tau pemiliknya bisa bantu kita.”
“JANGAN!”
Aku berteriak? Semua memerhatikanku. Entah darimana dan kenapa bisa kata itu
keluar dari mulutku. Aku cuma merasa
rumah itu memiliki aura negatif. Itu saja.
“Coba
aja dulu” Nuke berusaha memberi saran.
“Tapi
aku merasa ada yang tidak beres dengan rumah itu,”
“Mungkin
Cuma perasaan kamu aja, Fir” sahut Mbak Julie.
“.....”
***
TOK..TOK..TOKK
Bang
Joe mengetuk pintu antik yang terpasang di rumah mewah nan megah itu. Pintu
kemudian terbuka lebar. Berdiri seorang pria dengan pakaian ala pahlawan
Indonesia beberapa tahun silam.
“Ada
apa? Saya Alfi. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kami.
Mobil kami mogok,” jelas Bang Joe.
“Silakan
masuk.”
Ekspresi
lelaki itu sungguh aneh. Datar. Firasat aku makin tidak karuan. Aku tidak tahu
ada apa ini. Semua yang aku rasa saat ini, hanya khawatir terjadi sesuatu
kepada kami. Aku heran mengapa yang lain tak merasakan hal yang sama seperti
aku? Aku bingung. Aku takut. Aku berusaha berpikir positif saja.
“Kamar
mandinya dimana?,” tanya Mbak Julie pada Alfi.
“Kamu
lurus saja, lalu belok kiri”
“Ko,
jagain Kaara dulu ya, aku mau ke toilet dulu.”
***
Keluar
dari toilet, Mbak Julie mendengar desah napas seseorang dari gudang rumah
tersebut. Ia mencoba membuka pintu ruangan itu. Berhasil.
“Vira?
Nabila?”. Mbak Julie berlari. Ia melihat Alvira dan Nabila tergantung dengan
posisi kepala di bawah. Ikatan tambang dibuka. Lakban yang tertempel di mulut
mereka dibuka juga. “Kalian kok bisa gini?”
Ikatan
tali di sekujur tubuh Vira dan Nabila telah terbuka. “Kami dikurung di rumah
ini,” Vira berbicara dengan nada yang sangat pelan.
“Dan
pe..pelakunya, Alfi!,” Nabila agak tergagap karena napasnya masih belum stabil.
“Ayo
kita keluar dari sini. Teman-teman juga masih di Ruang Tamu”
Mereka
kaget.
“Kalian
mau kemana?”
“NUKE?”
“Iya,
benar sekali,”
“Kamu
mau apa Nuke?” Alvira memberontak.
Tangan
Nuke menggenggam celurit tajam, “Aku? Aku? Aku mau mengambil nyawa kalian
semua!”
Diam-diam,
Nabila merampas celurit dari tangan Nuke. Nasib berkata lain. Alfi menggenggam
tangannya dan mematahkannya. Tubuh Nabila didorong, terjerembab di lantai yang
amis dari bekas darah. Alfi mendekat lantas menendang kepala Nabila. Nabila tak
bisa berbuat apa pun, Mbak Julie dan Alvira ketakutan. Kemudian, dada Nabila
ditusuk tombak hingga berkali-kali. Darah mengalir menuju kaki Mbak Julie dan
Alvira.
“NABILAA,”
Alvira tak sanggup melihat apa yang telah terjadi pada Nabila. “KALIAN MAU APA
SIH SEBENERNYA!”
“Kami
kan mau nyawa kalian. Dan sekarang giliran kamu!” jawab Alfi dengan tenang.
Nuke
menampar wajah Alvira. Mereka saling menjambak.
“MBAK
JULIE!! LARI MBAK!”
“Tapi,”
“CEPET
MBAK! LARI! KASIH TAU YANG LAIN!! CEPET!”
Mbak
Julie berlari mencari jalan keluar. Dan berharap ada seseorang yang dapat
menolong mereka. Sayang sekali, pintu rumah digembok dan dirantai. Tak ada
jalan keluar. Mbak Julie terpaksa berlari ke lantai dua, sementara Alfi tetap
mengikuti kemana ia pergi.
***
Alvira
dan Nuke masih berkelahi. Alvira terjatuh. Badannya ditindih tubuh Nuke sambil
lehernya dicekik dengan kuat. Tangan Alvira berusaha meraih celurit di tangan
kanan mayat Nabila. Usahanya membuahkan hasil dan dengan cepat langsung
diarahkan ke pundak Nuke. Celurit itu tertancap, tapi tidak membuat Nuke
tumbang, setidaknya ada waktu untuk Alvira melarikan diri. Nuke tetap
mengejarnya, sambil tangannya melepaskan tancapan celurit dipundaknya.
Ternyata
di ruangan tersebut banyak mayat bergelimpangan, tanpa kepala. Sisa-sisa darah
mereka membuat lantai terasa sangat licin, sehingga Alvira terpleset.
Celurit
dipundak Nuke telah terlepas. Benda tajam itu dilempar oleh Nuke, mengenai
betis Alvira. Darah kental dengan derasnya keluar dari permukaan kulit betis
Alvira. Nuke menghampiri Alvira, ia menampar wajah Alvira, menarik rambutnya
hingga rontok. Leher Alvira dicekik lagi dan membanting-banting kepala Alvira ke
lantai hingga kepalanya bocor. Dan dengan sadisnya Nuke mengarahkan kepala
Alvira ke tanduk rusa yang terpajang di dinding. Tanduk itu mengenai dan
menusuk kepala Alvira hingga tembus, mata Alvira juga lepas dari tengkoraknya.
Alvira meregang nyawa.
***
“KALIAN
DI DALAM?” Mbak Julie menggedor-gedor pintu sebuah kamar di lantai dua.
“JULIE?
Kamu bersembunyi dulu!,” kekhawatiran Bang Joe sangat mendalam. Pintu itu ia
dobrak-dobrak. Aku membantunya. Rozi pun ikut berusaha agar pintu dapat
terbuka. Berhasil. Aku keluar mengawasi keadaan. Kini Kaara berada dalam gendongan Tania.
Mbak
Julie memasuki sebuah kamar yang cukup luas. Lengan bajunya terjepit pintu, sedangkan
dibelakangnya Alfi semakin mendekat. Ia tak ingin membuang waktu. Terpaksa lengan
bajunya ia sobek, lantas langsung mengunci pintu kamar tersebut.
HYAAAATTT!!
Bang
Joe menghajar Alfi. Rozi memecahkan botol ke kepala Alfi. Beling dari kepingan
botol yang pecah itu salah satunya menancap di mata Alfi, tapi itu tak membuat
Alfi jera. Ia semakin mengamuk. Rozi berlari. Alfi berusaha mengejarnya, namun
Bang Joe menahan langkah Alfi. Mereka bertarung satu lawan satu. Bang Joe
meraih bongkahan batu di atas meja. Batu tersebut langsung didaratkan ke kepala
Alfi. Pendarahan hebat dialami Alfi. Alfi lemas. Ini adalah kesempatan emas
bagi Bang Joe, lalu Bang Joe menghantam dan menendang tubuh Alfi hingga Alfi
terjatuh. Dengan kekuatannya, ia melempar batu yang masih digenggamnya ke arah
wajah Alfi. Akhirnya Alfi tewas dengan rahang patah. Tetapi Bang Joe belum
puas, ia masih geram. Sisa-sisa potongan beling itu kemudian ditancapkan ke
dada Alfi.
***
Rozi
jatuh dari tangga. Badannya bergelinding ke lantai dasar. Terdengar suara
mesin. Rozi kaget melihat Nuke berada di depannya dengan membawa gergaji mesin.
Ia berusaha menghindar, tapi nahas, kesangaran Nuke tidak dapat dilawan. Dengan
santai dan biasa saja, Nuke langsung menyabet kepala Rozi hingga terputus. Leher
Rozi memuntahkan darah segar, kental dan amis. Darah tersebut muncrat ke
pakaian dan wajah Nuke. Nuke menyeringai lebar, lalu ia menaiki tangga.
“MANA
BAYI ITU!”
Tania
terkejut.
“MANA
BAYI ITU!”
“Kamu
mau apa sih sebenarnya, Nuke?,” Tania sangat ketakutan, Kaara dipeluknya dengan
erat. “Kenapa kamu mau mengambil nyawa kami?. Apa salah kami?”
“Kalian
tidak ada salah apa pun,” Tarikan napas Nuke membuat kalimatnya terhenti
sejenak, “Aku, Aku mengambil nyawa kalian sebagai tumbal!” jawabnya sambil
alisnya dinaikan sebelah.
“Tumbal?”
“Iya.
Tumbal. Sebagai syarat agar aku dapat memperoleh kekayaan dengan cepat dan bayi
itu berguna agar aku bisa hidup lebih lama”
“KAMU
JAHAT NUKE!”
“SERAHKAN
BAYI ITUU!!”
Tania
meletakan tubuh Kaara di atas spring bed.
“Tidak akan!” jawabnya lantang. Ia meraih pedang yang tergantung di tembok
kamar. “Kamu jangan macam-macam, Nuke” ancam Tania sambil mengacungkan pedang
itu.
Nuke
tak takut, malah dia melawan Tania dengan tangan kosong. Kekuatan Nuke begitu
besar hingga ia berhasil menumbangkan Tania. Pedang tersebut dirampasnya dari
tangan Tania, dan memotong-motong tangan Tania, leher Tania pun digoreskan
dengan pedang itu serta menyobek perutnya hingga usunya terurai.
“AAAA-AAAAA-AAAAA”
Tania menjerit dan tidak mampu bernapas lagi.
Tangan
Nuke telah dekat dengan tubuh Kaara. Untung saja aku melihat kejadian itu. Aku langsung
mencegahnya. Nuke terhempas, terselungkur ke ubin yang lembab. Bang Joe dan
Mbak Julie datang.
Mbak
Julie sangat panik. Ia membawa Kaara pergi untuk bersembunyi. Aku dan Bang Joe
masih melawan kebengisan Nuke.
Ternyata,
Mbak Julie tidak ambil diam. Ia mengamankan Kaara dan setelah itu keluar
mengambil gergaji mesin yang ia lihat di samping potongan kepala Rozi yang
terpenggal. Ia sangat marah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia menemui Nuke.
***
“ARRRGHH”
perih yang kurasakan ketika Nuke berhasil menyobek lenganku dengan pedang yang
masih ia bawa. Cairan kental berwarna merah tak henti-hentinya mengalir. Aku mengerang
kesakitan. Aku bersandar pada tembok, menahan rasa pedih.
“FIRDI?”
Mbak Julie menghampiriku, meletakan gergaji mesin di sampingnya dan mengikat
lenganku dengan sprai yang telah disobek. Mungkin ini bisa menahan supaya
darahku tidak terus mengalir.
Kemarahan
Mbak Julie tak tertahankan lagi. Ia menyalakan gergaji mesin itu lantas mengarahkannya
ke punggung Nuke yang saat ini sedang menindih dan mencekik Bang Joe. Punggung Nuke
mengeluarkan darah, muncrat ke mana-mana. Nuke masih hidup. Setelah itu Bang
Joe membalik tubuh Nuke hingga posisi Nuke terlentang di atas badan Bang Joe. Aku
mengoperkan pedang ke Mbak Julie. Mbak Julie mengambilnya dan menempelkan
pedang itu pada batang leher Nuke. Darah kembali mengalir, kali ini asalnya
dari leher Nuke. Mbak Julie tak peduli, dengan bantuan Bang Joe, ia berhasil
memenggal kepala Nuke, hingga putus.
_THE
END_