Rumah
Nanda terbuat dari papan-papan jati. Terlihat kokoh. Pintu dibukanya lebar. Peter
dan kawan-kawannya memerhatikan setiap bentuk bangunan yang dirasa cukup aneh.
“Silakan
masuk,” ucapnya datar, mempersilakan. “Dan listrik belum ada, maklum di tengah
hutan,” Kemudian Peter, Lia, Aldo, Rara, dan Nisa memasuki rumah tersebut dan
langsung duduk di kursi kayu tanpa pernah disuruh. “Di sini, saya tinggal
berempat. Saya panggil mereka dulu.” Nanda lalu berjalan pelan memasuki rumah
lebih dalam. Sementara Peter dan yang lainnya mengamati rumah ini tanpa ada
yang terlewati.
Nanda
keluar dengan diikuti oleh 3 orang lainnya. “Ini, kenalkan keluarga saya”
“Rama”
“Anna”
“Joe”
Mereka
telah memperkenalkan diri masing-masing. Lia terus memerhatikan mereka,
terutama Rama. Sorot mata Rama begitu tajam, seakan menelanjangi batin Lia. Sepertinya
Rama mengetahui dirinya sedang diamati oleh Lia, ia menoleh, Lia langsung
menunduk tak berani.
“Kalian
pasti lelah. Sebaiknya kalian ikut kami makan malam.” Tawar Nanda sembari
menyunggingkan senyum.
Anna
mengangguk pelan, “Kebetulan, tadi saya baru selesai buat steak.”
“Hah?,”
Rara melongo heran, “Ngga di kota, ngga di hutan menunya kok sama ya”. Mereka
pun serempak tertawa geli. Lalu beranjak mennggalkan ruang tamu menuju ruang
makan. Makanan telah tersaji di atas meja berukuran besar. Aroma sedap
menyeruak di indera penciuman semua orang yang ada di sana. Makanan-makanan itu
kini telah berada di dalam mulut setiap orang.
Peter
menyeruput minumannya, “Sumpah, enak sekali. Sama persis kayak makanan di restaurant bintang lima,” pujinya. “Ini
semua masak sendiri?”
“Sebaiknya
kalian menginap di sini, dan pulang setelah matahari terbit” Nanda mengalihkan
pembicaraan dan tak ingin membahas makanan itu lebih jauh lagi.
°°°
Semua
sudah terlelap, kecuali Lia. Bola matanya masih bergerak-gerak, ia mendengar suatu
aktivitas di rumah ini. Lia bangkit lalu berjalan agak sempoyongan. Suara itu
berasal dari sebuah ruangan yang pintunya terbuka hanya satu jengkal. Lia
berusaha mengintip. Ia melihat ada 2 orang di dalam. Satu orang berbaring dan satunya
lagi berdiri sambil menggenggam parang.
Lia
kaget melihat ketika seseorang yang berdiri itu mengarahkan parangnya ke leher seseorang
yang lainnya. Dengan cepat kepala dengan badan akhirnya terpisah. Darah begitu
saja tercurah, genangan darah merambat mengalir dari bawah celah pintu. Lia
terpana. Tiba-tiba kepala itu jatuh ke lantai, wajahnya menghadap Lia. Ternyata
seseorang yang nasibnya sangat malang adalah Trisna.
“Kak
Trisna?” ucapnya sangat pelan. Dan...
“Khhhh
... Mmmhh ...” napas Lia sangat sesak. Kepalanya dibungkus kresek hitam.
Badannya dilempar hingga membentur tembok. Lia berusaha bangun. Gerakannya tertahan
oleh kenyerian yang mengumpul di keningnya setelah dinding itu menghantam beberapa
bagian tubuhnya. Lia berhasil berdiri dan menyeimbangkan badannya. Ia membuka
kresek yang membungkus seluruh bagian kepalanya.
“Rama?”
Rama
mendekatinya lantas menampar wajah seorang wanita lemah. Pisau dikeluarkan dari
saku kanan celananya. Pisau itu ditusuk ke leher Lia. Lia mengerang kesakitan,
ia mencabut pisau itu. Darah semakin banyak keluar dari lehernya. Rama
tersenyum sinis kemudian melilit tubuh Lia dengan tambang.
Lia
bergerak sembarang, berusaha melepaskan diri. Kedua kakinya meronta dan menendang-nendang.
Tak disangka tubuh Rama seketika ditumbuhi bulu hitam legam, dagingnya menciut,
mengurus, kedua tangannya memanjang. Lia sangat tercengang menyaksikan
pemandangan seperti ini. Wajah Rama sangat hancur dengan rahang patahnya dan penuh
dengan belatung. Rama merangkak, lalu mengikat tubuh Lia dalam posisi kaki di
atas.
Leher
Lia tertarik dan terjerat. Tubuhnya tergantung, darah terus mengucur dari
lehernya yang koyak. Lia mengerang ajal. Kakinya meronta sebisanya, hingga
akhirnya lemas dan diam. Lia mati. Darah terus menetes-netes.
°°°
“AAAAAAKKHHHHHH
...” tiba-tiba Rara menjerit. Peter, Aldo, dan Nisa terbangun dan panik. Rara
menatap Aldo, matanya mendelik lebar dan memerah. Tatapannya menyiratkan
kepedihan hati yang dalam.
“Ra
.., kamu kenapa?” Nisa mengambil inisiatif. Rara menatap Nisa nanar. Air matanya
berlinang dan memberontak. Histeris.
Terdengar
suara langkah kaki yang agak cepat, semakin lama semakin keras. “Ini ada apa?”
Anna bertanya. Di belakangnya Joe berdiri dengan ekspresi datar.
“Kami
ngga tau, tiba-tiba aja teman kami jadi gini” jelas Aldo.
Anna
memegang kening Rara. Rara semakin jadi, ia mendesis, dan tiba-tiba mengaum.
Semua terkesiap. Anna terus membacakan mantra. Bibirnya komat-kamit.
“Joe,
ambil kelopak bunga mawar!” perintah Anna. Joe langsung meninggalkan kamar dan
datang kembali, kali ini dengan membawa kelopak bunga mawar lengkap dengan
tangkainya.
“Saya
boleh meminta setetes darah kalian masing-masing?” ucap Anna lagi.
“Darah?”
Peter nampak heran.
“Demi
keselamatan teman kalian” Joe menyahut.
“Sudah
ngga apa-apa, Ko” Nisa menyimpulkan. Lalu telunjuk tangan kiri Peter, Nisa, dan
Aldo ditusuk menggunakan taring anjing oleh Joe. Darah mulai menetes. Darah-darah
itu dioleskan pada sehelai kelopak bunga mawar, kemudian dimasukkan ke dalam
mulut Rara hingga tertelan. Rara sadar.
Mata
Rara kini telah terbuka, “Aku kenapa?” Rara berusaha duduk tapi Nisa
mencegahnya.
“Tadi
kamu ngigo, Ra” terpaksa Peter berbohong.
Nisa
tersenyum, “Sudah, kamu tidur aja lagi, Ra”
Mereka
bersyukur Rara telah sadar. Entah tadi dia kenapa. Kerasukan?. Ah sudahlah. Mereka hanya bisa mengira-ngira. Nisa dan
Rara tertidur kembali. Peter dan Aldo berjaga.
“Ko,
aku curiga deh sama pemilik rumah ini” kata Aldo menghenyak lamunan Peter.
“Perasaan
kamu aja kali,” gumam Peter
Aldo
menghela napas panjang, “Tapi, Ko.. aku” ucapannya tertahan, ia menoleh-noleh
sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya, “Bagaimana kalo kita buktiin aja”
sambungnya lagi.
“Kalo
itu mau kamu. Ayo kita buktiin”. Peter dan Aldo kemudian keluar mengelilingi
dan memantau setiap sudut rumah. Aldo membawa pipa besi sedangkan Peter membawa
senapan angin. Mereka buru-buru sembunyi ketika Nanda lewat, ia membawa nampan
besar dan ditutupi tudung saji yang terbuat dari alumunium. Nanda berjalan penuh
irama, makhluk aneh dengan mata merah membara mengikutinya. Makhluk itu sangat
menyeramkan. Merangkak.
“Itu
apaan?” bisik Aldo.
“Ssstt”
Nanda
dan makhluk itu sudah memasuki ruangan yang sangat remang. Peter berusaha mengintip
pada lubang kunci. Ia terhenyak, sesekali terlihat bengong.
“Kenapa,
Ko?” pertanyaan Aldo tak dijawab.
°°°
Kuku
panjang yang dimiliki makhluk ‘aneh’ itu menyobek perut mayat Lia. Usus terlihat
begitu licin dan sangat mudah keluar bersama darah yang masih terlihat segar. Matanya
dicongkel sebelah, lalu dilahap oleh Nanda. Joe juga asyik menampung tetesan
darah yang keluar dengan cekungan yang dibuat dari kedua tangannya, lantas
segera diteguknya habis. Makhluk aneh itu sudah tak ada di sana, entah dia di
mana.
Kekhawatiran
langsung menyeruak.
°°°
“Ra?
Rara? RARA? Kamu dimana?” Nisa khawatir. Rara tak ada di sampingnya. Ia bangkit
dari ranjang. Namun Anna berdiri di depannya.
“Mau
cari siapa?” tanyanya judes. “Rara?”
“Iya,
dia dimana?
“Tuh,”
Nisa
lemas. Ia menjerit histeris. Rara telah tiada, kepalanya terbalik, sedikit lagi
putus. Nisa memerhatikan jasad Rara, ternyata mata kirinya kosong. Tak terasa
air matanya mengalir membasahi pipinya yang merona.
Air
mata yang menetes diusapnya, “DIA KENAPA? RARA KENAPA?” tanya Nisa tegas. Ia melihat
tangan Anna menggenggam bola mata, milik Anna. Amarah pun langsung memuncak, ia
meraih paku di atas meja kayu yang antik. Paku itu dilemparnya keras hingga
mengenai mata Anna. Anna mengaduh kesakitan. Nisa juga mengambil vas bunga
berbahan keramik dan memecahkannya di kepala Anna. Tubuh Anna ditendang Nisa
berkali-kali. Anna ambruk. Dengan geram, Nisa menginjak wajah Anna dengan
keras, sampai akhirnya tengkorak wajah Anna retak. Napas Anna pun terhenti.
°°°
Handle
pintu bergerak naik-turun. Peter dan Aldo menjauh. Keluarlah Nanda dan Joe
dengan mulut yang belepotan darah. Bau amis tercium menusuk hidung, memualkan
perut.
“Kalian
sudah tau semua ini ‘kan?” Joe tersenyum
sinis dan dingin. Pipa di tangan Aldo dienggam semakin kuat, Aldo berlari ke
arah Joe lantas mengayun dan mendaratkan pipa tersebut ke kepala Joe. Kepala
Joe remuk, darah muncrat kesana-kemari, membasahi lantai, mengalir tak tentu
arah.
Aldo dicekik Nanda, hingga suaranya tak bisa keluar, sampai akhirnya napasnya berhenti berhembus, jantung pun segan untuk berdetak. Aldo tewas.
“Ko
Peter!,” sorak Nisa, “Mereka jelmaan dedemit! Mereka takut cahaya! Kekuatan mereka
akan hilang kalau ada cahaya!” Nisa membawa obor, “Sebentar lagi fajar muncul”
Nisa
menuangkan bensin ke rumah kayu itu. Ia langsung berlari diikuti oleh Peter dan
melepaskan obor di tangannya. Si jago merah langsung melahap rumah beserta
isi-isinya, termasuk Nanda. Nanda terjebak dalam kepungan api yang menyala
hebat. Ia tak bisa melarikan diri.
Di
luar, langit masih sedikit gelap. Api yang membakar rumah sebentar lagi padam. Hampir
semua telah berubah menjadi abu.
“Akhirnya
kita selamat” lirih suara Peter merobek malam. “Jam setengah enam” wajah Peter
sumringah.
“Syukurlah,
Ko” Nisa membalas senyuman itu, “Tunggu deh, Ko. Nanda. Joe. Anna,” ia
berpikir, “Rama. Rama mana?”
Ketegangan
mulai muncul kembali. Tiba-tiba suatu kekuatan menyobek leher Nisa, darah
mengalir lagi, membasahi pakaiannya, dia langsung roboh. Srrr.... kekuatan itu
menyeret Nisa dan menghempaskannya ke ranting pohon yang runcing. Belulangnya terasa
remuk, punggungnya tertusuk ranting itu hingga menembus dada. Darah semakin
deras.
“NISAAAA
..” teriak Peter. Kemudian melepaskan tembakan menggunakan senapan angin yang
sedari tadi dipegangnya. Meleset. Berkali-kali selalu gagal mengenai sasaran.
Makhluk yang sebenarnya Rama itu bergerak begitu cepat. Tinggal satu peluru
yang tersisa.
“Kali
ini ngga boleh gagal,” Peter sangat yakin, dan langsung menembak. Berhasil. Dia
sangat senang. Makhluk itu megap-megap tak berdaya. Peter mengahmpirinya kemudian
menancapkan senapan itu ke tubuh jelmaan dedemit rumah tua.
Fajar
telah terbit di ufuk timur, dedemit itu gosong terkena sinar matahari pagi. Peter
selamat dan segera pergi meninggalkan hutan angker dengan menyisakan pedih di
hati karena kehilangan semua temannya ...
°°°
Badan
Nanda tertindih sisa-sisa papan, jemarinya masih bergerak sementara Peter telah
menjauh ---
-The End-
Peter
diperankan
oleh
Peter Taslim
Nisa
diperankan
oleh Nabila Khaerunisa Thazila
Rama
diperankan
oleh Firdi Kharisma Ramadhan
Nanda
diperankan
oleh Harnanda Ikhwan
Joe
diperankan
oleh Joe Taslim
Aldo
diperankan
oleh Alfi Nurwondo
Anna
diperankan
oleh Tania Septiana
Rara
diperankan
oleh Alvira Ramadhani
Lia diperankan oleh Nuke Amalia Piliang